FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



1.      a. Perspektif Ontologi Pendidikan Islam.
Masalah-masalah pendidikan Islam yang menjadi perhatian ontologi -menurut Muhaimin[7]- adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini berkisar pada: apa saja potensi yang dimiliki manusia? Dalam Al-Qur’a>n dan Al-H}adi>th terdapat istilah fit}rah, samakah potensi dengan fit}rah tersebut? Potensi dan atau fit}rah apa dan dimana yang perlu mendapat prioritas pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah potensi dan atau fit}rah itu merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui lingkungan  atau faktor ajar ?
Lebih luas lagi apa hakekat budaya yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Ataukah hanya ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujut dalam realitas sejarah umat Islam yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis yang perlu mendapat penegasan.
b. Perspektif Epistemologi Pendidikan Islam
Analisis epistemologis tentang pendidikan Islam terkait dengan landasan dan metode pendidikan Islam. Kegiatan pendidikan tertuju pada manusia, dan oleh karenaya menyentuh filsafat tentang manusia.  Kegiatan pendidikan adalah kegiatan mengubah manusia sehingga mengembangkan hakikat kemanusiaan. Kegiatan pendidikan dilakukan terhadap manusia dan oleh manusia, yang bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan, dan hal ini dapat terjadi jika manusia memang “animal educandum, educabile, dan educans”.
Epistemologis bahwa manusia adalah animal educandum, educabile dan educans tersebut merupakan hasil analisis Langeveld, seorang Paedagog Belanda. Analisis fenomenologis tentang manusia sebagai sasaran tindak mendidik ini menegakkan paedagogik (ilmu pendidikan) sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut dipertimbangkan. Paedagogik sebagai ilmu pengetahuan melukiskan bahan pengetahuan pendidikan yang bermanfaat  untuk melakukan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah.
Analisis epistemologis dan metode fenomenologi tentang kegiatan pendidikan –menurut Dimyati- telah melahirkan paedagogik sebagai ilmu yang otonom. Sedangkan analisis epistemologi dengan pragmatismenya melahirkan philosophy of education sebagai cabang filsafat khusus. Secara analisis pragmatis, kegiatan pendidikan dipandang sebagai bagian integral kebudayaan; dalam hal ini kegiatan pendidikan  dipandang sebagai penerapan pandangan filsafat manusia terhadap anak manusia.[8] Implikasinya, dapat diilustrasikan jika manusia dipandang sebagai makhluk rasional, maka kegiatan pendidikan terhadap manusia adalah membuat manusia menjadi makhluk yang mampu menggunakan dan mengembangkan akalnya untuk memecahkan masalah-masalah kebudayaan manusia.

c. Perspektif Aksiologi Pendidikan Islam.
Dalam bidang aksiologi, masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat prinsip dalam pendidikan Islam. Hal ini terjadi karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama pendidikan Islam dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan Islam. Nabi Muh}ammad sendiri diutus untuk misi utama memperbaiki dan menyempurnakan kemuliaan dan kebaikan akhlak umat manusia.
Disamping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan, tidak dapat lepas dari sistem nilai tersebut. Dalam masalah etika yang mempelajari tentang hakekat keindahan, juga menjadi sasaran pendidikan Islam, karena keindahan merupakan kebutuhan manusia dan melekat pada setiap ciptaan Allah. Tuhan sendiri Maha Indah dan menyukai keindahan.
Disamping itu pendidikan Islam sebagai fenomena kehidupan sosial, kulturan dan seni tidak dapat lepas dari sistem nilai keindahan tersebut. Dalam mendidik ada unsur seni, terlihat dalam pengungkapan bahasa, tutur kata dan prilaku yang baik dan indah.
Unsur seni mendidik ini dibangun atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia memiliki nilai tertentu sehingga situasi pendidikan memiliki bobot ni

2.      Pengertian ta’lim, ta’dib, dan tarbiyah.
1. Ta’lim
secara bahasa berarti pengajaran (masdar dari ‘alama-yu’alimu-ta’liman), secara istilah berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan. Menurut Abdul Fattah Jalal, ta’lim merupakan proses pemberian pengatahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau bersih dari segala kotoran sehingga siap menerima hikmah dan mampu mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya ( ketrampilan). Mengacu pada definisi ini, ta’lim, berarti adalah usaha terus menerus manusia sejak lahir hingga mati untuk menuju dari posisi ‘tidak tahu’ ke posisi ‘tahu’ seperti yang digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78, “dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.


2. Ta’dib,
merupakan bentuk masdar dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban, yang berarti mengajarkan sopan santun. Sedangkan menurut istilah ta’dib diartikan sebagai proses mendidik yang di fokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti pelajar.
Menurut Sayed Muhammad An-Nuquib Al-Attas, kata ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud keberadaan-Nya. Definisi ini, ta’dib mencakup unsur-unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta’lim), pengasuhan (tarbiyah). Oleh sebab itu menurut Sayed An-Nuquib Al Attas, tidak perlu mengacu pada konsep pendidikan dalam Islam sebagai tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib sekaligus. Karena ta’dib adalah istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan dalam arti Islam.

3.Tarbiyah,
Tarbiyah berasal dari bahasa Arab yang berarti pendidikan, sedangkan orang yang mendidik dinamakan Murobi. Secara umum, tarbiyah dapat dikembalikan kepada 3 kata kerja yg berbeda, yakni:
1. Rabaa-yarbuu yg bermakna namaa-yanmuu, artinya berkembang.
2. Rabiya-yarbaa yg bermakna nasya-a, tara’ra-a, artinya tumbuh.
3. Rabba-yarubbu yg bermakna aslahahu, tawallaa amrahu, sasa-ahuu, wa qaama ‘alaihi, wa ra’aahu, yang artinya masing memperbaiki, mengurus, memimpin, menjaga dan memeliharanya (atau mendidik).
Makna tarbiyah adalah sebagai berikut:
1. proses pengembangan dan bimbingan, meliputi jasad, akal, dan jiwa, yang dilakukan secara berkelanjutan, dengan tujuan akhir si anak didik tumbuh dewasa dan hidup mandiri di tengah masyarakat.
2. kegiatan yg disertai dengan penuh kasih sayang, kelembutan hati, perhatian, bijak, dan menyenangkan (tidak membosankan).
3. menyempurnakan fitrah kemanusiaan, memberi kesenangan dan kemuliaan tanpa batas sesuai syariat Allah SWT.
4. proses yg dilakukan dengan pengaturan yg bijak dan dilaksanakan secara bertahap dari yg mudah kepada yg sulit.
5. mendidik anak melalui penyampaian ilmu, menggunakan metode yg mudah diterima sehingga ia dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
6. kegiatan yg mencakup pengembangan, pemeliharaan, penjagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan, dan perasaan memiliki terhadap anak.
7. Tarbiyah terdiri atas (1) Tarbiyah Khalqiyyat, yakni pembinaan dan pengembangan jasad, akal, jiwa, potensi, perasaan dengan berbagai petunjuk, dan (2) tarbiyah diiniyyat tahdzibiyyat, pembinaan jiwa dengan wahyu untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa menurut pandangan Allah SWT.

Dalam ta’lim, titik tekannya adalah penyampain ilmu pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah kepada anak. Oleh karena itu ta’lim di sini mencakup aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik.
Sedangkan pada tarbiyah, titik tekannya difokuskan pada bimbingan anak supaya berdaya (punya potensi) dan tumbuh kelengkapan dasarnya serta dapat berkembang secara sempurna. Yaitu pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi.
Adapun ta’dib, titik tekannya adalah pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik.
Denga pemaparan ketiga konsep di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiganya mempunyai satu tujuan dalam dunia pendidikan yaitu menghantarkan anak didik menjadi yang “seutuhnya”, perfect man, sehingga mampu mengarungi kehidupan ini dengan baik. waAllahu ‘alam.
3.      Aliran
a) Aliran Nativisme
Istilah Nativisme dari asal kata Natives yang artinya terlahir. Nativisme adalah sebuah doktrin filosofis yang berpangaruh besar terhadap pemikiran psikologis. Tokoh utama aliran ini adalah Arthur Schopenhauer (1788-1869), seoran filosofis Jerman. Airan ini identik dengan pesimistis yang memandang segala sesuatu dengan kaca mata hitam. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah di tentukan oleh faktor-faktor yang di bawa manusia sejak lahir, pembawaan yang telah terdapat pada waktu lahir itulah yang menentukan hasil perkembangannya.
Menurut aliran nativisme, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan. Dalam ilmu pendidikan pandangan seperti ini di sebut pesimistis pedagogis. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak itu sendiri. Bagi nativisme lingkungan lingkungan sekitar tidak mempengaruhi perkembangan anak, penganut aliran ini menyatakan bahwa kalau anak mempunyai pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya kalau anak mempunyai pembawaan baik maka dia akan baik.
Pembawaan baik dan buruk ini tidak dapat di ubah dari luar. Jadi menurut pemaparan di atas telah jelas bahwa pendidikan menurut aliran nativisme tidak bisa mengubah perkembangan seorang anak atau tidak mempunyai pengaruh sama sekali. Karena menurut mereka baik buruknya seoang anak di tentukan oleh pembawaan sejak lahir, dan peran pendidikan di sini hanya sebatas mengembangkan bakat saja. Misalnya: seorang pemuda sekolah menengah mempunyai bakat musik, walaupun orang tuanya sering menasehati bahkan memarahinya supaya mau belajar, tapi fikiran dan perasaanya tetap tertuju pada musik dan dia akan tetap berbakat menjadi pemusik.
b) Aliran Naturalisme
Nature artinya alam atau yang di bawa sejak lahir aliran ini di pelopori oleh seorang filusuf Prancis JJ. Rousseau (1712-1778). Berbeda dengan nativisme naturalisme berpendapat bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik, dan tidak satupun dengan pembawaan buruk, bagaimana hasil perkembangannya kemudian sangant di tentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh itu baik maka akan baiklah ia akan tetapi jika pengaruh itu jelek, akan jelek pula hasilnya.
Dikatakan oleh tokoh aliran ini yaitu J.J. Rousseau sebagai berikut:”semua anak adalah baik pada waktu baru datang dari sang pencipta, tetapi semua rusak di tangan manusia”. Oleh karena itu sebagai pendidik Rousseau mengajukan “pendidikan alam” artinya anak hendaklah di biarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia atau masyarakat jangan banyak mencampurinya. Rousseau juga berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak pembawaan anak yang baik itu, aliran ini juga di sebut negativisme.
Jadi dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan yang di laksanakan adalah menyerahkan anak didik kealam, agar pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui proses dan kegiatan pendidikan itu. Rousseau ingin menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat yang serba di buat-buat sehingga kebaikan anak-anak yang di peroleh secara alamiyah sejak saat kelahirannya itu dapat berkembang secara sepontan dan bebas. Ia mengusulkan perlunya permainan bebas kepada anak didik untuk mengembangkan pembawaannya, kemampuannya dan kecenderungannya. Jadi menurut aliran ini pendidikan harus di jauhkan dari anak-anak, seperti di ketahui, gagasan naturalisme yang menolak campur tangan pendidikan, sampai saat ini malahan terbukti sebaliknya pendidikan makin lama makin diperlukan.
c) Aliran Empirisme
Kebalikan dari aliran empirisme dan naturalisme adalah empirisme dengan tokoh utama Jhon Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini adalah The School of British Empirism (aliran empirisme inggris). Doktrin aliran empirisme yang sangat mashur adalah tabula rasa, sebuah istilah bahasa Latin yang berarti buku tulis yang kosong atau lembaran kosong. Doktrin tabula rasa menekankan arti penting pengalaman, lingkungan dan pendidikan dalam arti perkembangan manusia semata-mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir di anggap tidak ada pengaruhnya.
Dalam hal ini para penganut empirisme menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong dan tak punya kemapuan apa-apa. Aliran empirisme berpendapat berlawanan dengan aliran nativisme dan naturalisme karena berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa itu sama sekali di tentukan oleh lingkungannya atau oleh pendidikan dan pengalaman yang di terimanya sejak kecil, manusia-manusia dapat di didik menjadi apa saja kearah yang baik maupun kearah yang buruk menurut kehendak lingkungan atau pendidikannya. Dalam pendidikan pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme pedagogis.
Kaum behaviouris pun sependapat dengan kaum empiris, sebagai contoh di kemukakan di sini kata-kata waston, seorang behaviouris tulen dari Amerika ”berilah saya anak yang baik keadaan badannya dan situasi yang saya butuhkan, dan dari setiap orang anak, entah yang mana dapat saya jadikan dokter, seorang pedagang, seorang ahli hukum, atau jika memang di kehendaki menjadi seorang pengemis atau pencuri”.
Dari pemaparan dan contoh di atas jelas menurut pandangan empirisme bahwa peran pendidik sangat penting sebab akan mencetak anak didik sesuai keinginan pendidik tapi dalam dunia pengetahuan pendapat seperti ini sudah tidak di akui lagi, umumnya orang sekarang mengakui adanya perkembangan dari pengaruh pembawaan dan lingkungan. Suatu pembawaan tidak dapat mencapai perkembangannya jika tidak di pengaruhi oleh lingkungan di samping itu orang berpendapat bahwa dalam batas-batas yang tertentu kita dilahirkan dengan membawa intelegensi. Di katakan dalam batas-batas tertentu karena sepanjang pengetahuan kita tahu bahwa intelegensi dapat kita kembangkan.
d) Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi merupakan gabungan dari aliran-aliran di atas, aliran ini menggabungkan pentingnya hereditas dengan lingkungan sebagai faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia, tidak hanya berpegang pada pembawaan, tetapi juga kepada faktor yang Sama pentingnya yang mempunyai andil lebih besar dalam menentukan masa depan seseorang.
Aliran konvergensi mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkemangan manusia itu adalah tergantung pada dua faktor, yaitu: faktor bakat atau pembawaan dan faktor lingkungan, pengalaman atau pendidikan. Inilah yang di sebut teori konvergensi. (Convergentie : penyatuan hasil, kerjasama mencapai satu hasil. Konvergeren : menuju atau berkumpul pada satu titik pertemuan).
4.                      Proses pendidikan erat kaitannya dengan manusia. Subjek pendidikan adalah manusia. Oleh karena itu, pendidik harus memahami hakikat manusia agar proses pendidikan yang dilakukan menjadi terarah sesuai dengan tujuannya.
                Pendidikan pada awalnya adalah upaya manusia untuk memperlakukan anak keturunan manusia secara instingtif untuk menjaga keberlangsungan hidupnya. Mendidik secara instingtif kemudian diikuti oleh upaya mendidik berdasarkan pikiran dan pengalaman manusia.
Sesuai dengan filsafat pendidikan, terdapat lima pandangan yang dominan, yaitu (1) perenialisme yang meyakini bahwa pengetahuan merupakan dasar pokok dari pendidikan, (2) esensialisme yang memandang fungsi sekolah sebagai lembaga penerus warisan budaya bangsa dan sejarah, (3) progresivisme yang menekankan pentingnya pemberian keterampilan dan alat kepada individu untuk berintegrasi dengan lingkungan yang selalu berubah, (4) rekonstruksionisme yang berpandangan bahwa dalam perkembangan teknologi yang cepat, pendidikan harus mampu melakukan rekonstruksi masyarakat dan membangun tatanan dunia baru selaras dengan perkembangan teknologi tersebut, (5) eksistensialisme yang menghormati martabat manusia sebagai individu yang unik dan memperlakukan individu yang unik sebagai pribadi.

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Bukti paling kongkrit yaitu manusia memiliki kemampuan intelegesi dan daya nalar sehingga manusia mampu berifikir, berbuat, dan bertindak untuk membuat perubahan dengan maksud pengembangan sebagai manusia yang utuh. Kemampuan seperti itulah yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan lainnya. Dalam kaitannya dengan perkembangan individu, manusia dapat tumbuh dan berkembang melalui suatu proses alami menuju kedewasaan baik itu bersifat jasmani maupun bersifat rohani. Oleh sebab itu manusia memerlukan Pendidikan  demi mendapatkan perkembangan yang optimal sebagai manusia.
Sampai sekarang telah berkembang konsepsi yang telah menjadi landasan bagi penetapan kebijakan pendidikan di Indonesia, yaitu :
1. pendidikan berlangsung seumur hidup;
2. pendidikan bersifat semesta, menyeluruh, dan terpadu;
3. pendidikan adalah bagian dari kebudayaan dan masyarakat.
Dilihat dari prosesnya, pendidikan berlangsung sepanjang hayat seseorang, sejak lahir sampai mati. Walaupun ada pandangan bahwa pendidikan hanya berlangsung sampai seseorang menjadi dewasa atau sampai pada saat seseorang mampu bertanggung jawab pada dirinya sendiri, pada dasarnya kedua pandangan ini tidak bertentangan karena kedua teori tersebut sama-sama mengakui adanya pendidikan sepanjang hayat.
Berdasarkan konsep ini, hakikat pendidikan adalah :
a. Pendidikan adalah pertolongan atau pengaruh yang diberikan seseorang yang bertanggung jawab kepada anak agar menjadi manusia dewasa. Pendidikan adalah suatu kehidupan bersama dalam satu kesatuan tritunggal ayah- ibu- anak dimana terjadi pemanusiaan anak melalui proses pemanusiaan diri sampai menjadi manusia purnawan.
b. Pendidikan berati pemasukan anak ke dalam alam budaya atau juga masuknya budaya ke dalam anak. Pendidikan merupakan hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah-ibu-anak dimana terjadi pembudayaan anak melalui proses sehingga akhirnya bisa membudaya sendiri sebagai manusia purnawan.
c. Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah-ibu-anak dimana terjadi pelaksanaan nilai-nilai dengan melalui proses akhirnya dia bisa melaksanakan sendiri sebagi manusia purnawan.
Dalam pendidikan proses pemanusiaan, pembudayaan, dan pelaksanaan nilai tidak dapat dipisah-pisahkan. Keberadaan manusia yang lemah menjadi dasar pandangan bahwa manusia dapat atau perlu dididik. Proses memanusiakan ini adalah proses yang kompleks.
                Pada dasarnya, pendidikan di semua institusi dan tingkat pendidikan mempunyai muara tujuan yang sama, yaitu ingin mengantarkan anak manusia menjadi manusia paripurna yang mandiri dan dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan lingkungannya. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, tujuan pendidikan tersebut secara eksplisit dapat dilihat pada Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan-peraturan pemerintah yang berkaitan dengan undang-undang tersebut

0 komentar:

Post a Comment