Pendahuluan
Umat Islam harus bisa
menerima berbagai ilmu pengetahuan darimana pun sumbernya. Jika sikap
mengharamkan sekolah umum itu dipertahankan, ulama akan ditinggalkan umatnya
karena tidak bisa menerjemahkan keagamaan secara kontekstual dalam menjawab
permasalahan realitas kehidupan. Inilah kegilasahan yang berkecamuk dalam benak
Ahmad Dahlan ketika masih muda.
Berbekal pendirian ini,
Dahlan mulai mendobrak segala tatanan yang sudah mapan. Ialah yang merintis
organisasi Islam Modern, Muhammadiyah. Sejak zaman kolonial, organisasi sosial
umat Islam ini aktif mendirikan sekolah-sekolah umum. Muhammadiyah telah
memberi andil dalam meningkatkan kualitas hidup umat, khususnya pendidikan dan
kesehatan.
Makalah ini akan mencoba untuk membedah sekelumit tentang seorang
tokoh yang bernama asli Muhammad Darwisy atau kita kenal dengan Ahmad Dahlan,
dan organisasi yang diusungnya yaitu Muhammadiyah.
Biografi Ahmad Dahlan
Andai saja pada tahun
1868 tidak lahir seorang bayi bernama Muhammad Darwisy (ada literatur yang
menulis nama Darwisy saja), Kampung Kauman di sebelah barat Alun-alun Utara
Yogyakarta itu boleh dibilang tak memiliki keistimewaan lain, selain sebagai
sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta. Sejarah kemudian mencatat
lain, dan Kauman pada akhirnya menjadi sebuah nama besar sebagai kampung
kelahiran seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, Kiai Haji Ahmad
Dahlan: Sang Penggagas lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah
1330 Hijriyah bertepatan dengan 18 November 1912.
Muhammad Darwisy
dilahirkan dari kedua orang tua yang dikenal sangat alim yang merupakan ketib[1],
yaitu KH. Abu Bakar (Imam Khatib Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai
Abu Bakar (puteri H. Ibrahim, Hoofd Penghulu Yogyakarta). Muhammad Darwisy merupakan
anak keempat dari tujuh saudara yang lima diantaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya. Tak ada yang menampik silsilah Muhammad Darwisy sebagai keturunan
keduabelas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan terkemuka
diantara Wali Songo, serta dikenal pula sebagai pelopor pertama penyebaran dan
pengembangan Islam di Tanah Jawa. Demikian matarantai silsilah itu: Muhammad
Darwisy adalah putra K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiyai
Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung
Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin Maulana
Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin
Maulana Malik Ibrahim.
Muhammad Darwisy
dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil, dan sekaligus menjadi tempatnya
menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika
berusia 15 tahun (1883),[2] lalu
dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima
tahun. [3] Di sinilah ia berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai
pengaruh yang besar pada Darwis. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh
aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan
yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui
pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang
masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan
ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh
karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui,
dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada
al-Qur’an dan al-Hadis.
Pada usia 20 tahun
(1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji Ahmad Dahlan (suatu
kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang haji, selalu mendapat nama
baru sebagai pengganti nama kecilnya). Sepulangnya dari Makkah ini, iapun
diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada
tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan
dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Makkah,
ia menikah dengan Siti Walidah, saudara sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu
Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H.
Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti
Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Di samping itu, K.H. Ahmad
Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah
menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai
putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Ajengan Penghulu)
Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin,
Pakualaman Yogyakarta.
Ahmad Dahlan adalah
seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya. Ada sebuah
nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri:
“Wahai Dahlan, sungguh
di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan
engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan
selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba
engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah,
sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan
dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan
tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh
Djarnawi Hadikusumo).
Dari pesan itu tersirat sebuah semangat dan
keyakinan yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan
akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal
untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan
dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan
membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan
demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus
mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus
diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang
sistematis dan kolektif.
Kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan
sangat merasakan kemunduran ummat Islam di tanah air. Hal ini merisaukan
hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan
memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan
seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara
seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.[4]
Gerakan Muhammadiyah
Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat
manusia) tersebut, Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama
melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan
cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran
akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia dan menghindarkan realitas sosial keagamaan yang berkembang dikalangan
masyarakat muslim Yogyakarta seperti takhayul[5],bid’ah[6]
dan khurafat.[7]
Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan
memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik
para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para
calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia
sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di
kedua sekolah tersebut.
Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut
diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka
akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian
juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat
proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan
mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah
guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah)
dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan
mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya
tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai
pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Di samping itu, ia juga
dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik
yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala
di masyarakat
Sebagai seorang yang aktif dalam
kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga
dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia
juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam’iyatul Khair, Budi
Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara.
Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal
menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk
kembali hidup menurut tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri
pada tanggal 18 Nopember 1912. Sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa
Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di
bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan
ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat
sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi
kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam.
Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang
Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak
membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar.
Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam
di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan
hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan
Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah
Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran
akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. [8]
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah
lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri
Cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka K.H. Ahmad Dahlan menyiasatinya
dengan menganjurkan agar Cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama
lain, misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut
dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari Cabang Muhammadiyah.
Di dalam kota Yogyakarta sendiri, Ahmad
Dahlan menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian
dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah
ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul
Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul
Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba,
Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul
Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan
oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga
melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan
sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama
dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan
terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di
seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan
mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan
cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin
delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini
diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk
konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan
Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan
Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam
ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran
yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab
baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir
Qur’an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan
terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan
argumentasi: “Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari
keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para
ulama dari pada Qur’an dan Hadis. Umat Islam harus kembali kepada Qur’an dan
Hadis. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui
kitab-kitab tafsir”.[9]
Sebagai seorang demokrat dalam melaksanakan
aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan memfasilitasi para anggota
Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam
Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah,
telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun),
yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam mem-bangkitkan
kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah
Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat
Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai
berikut :
1. K.H. Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan
ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus
belajar dan berbuat.
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya,
telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang
menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan
dasar iman dan Islam.
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah
mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi
kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
4.
Dengan
organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori
kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial,
setingkat dengan kaum pria.
Kesimpulan
Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang tua yang dikenal sangat alim
yang merupakan ketib, yaitu KH. Abu Bakar (Imam Khatib Mesjid Besar
Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri H. Ibrahim, Hoofd Penghulu
Yogyakarta). Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti
nama Haji Ahmad Dahlan (suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang
haji, selalu mendapat nama baru sebagai pengganti nama kecilnya).
Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat
manusia) tersebut, Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama
melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan
cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran
akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia dan menghindarkan realitas sosial keagamaan yang berkembang dikalangan
masyarakat muslim Yogyakarta seperti takhayul,bid’ah dan khurafat.
Referensi
Komandoko, Gamal, Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara,(Pusataka
Widyatama: Yogyakarta, 2007)
Majelis Diklitbang PP Muhammadiya, 1 Abad Muhammadiyah,
(Kompas Media Nusantara: Jakarta, 2010)
Mohammad, Herry, dkk, tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20,
(Gema Insani: Jakarta, 2008)
Mulkhan, Abdul Munir, Jejak
Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Windi A, 100 Tokoh yang
Mengubah Indonesia. (Narasi: Yogyakarta, 2007)
Dahlan, (Kompas Media
Nusantara: Jakarta, 2010)
[1] Istilah Ketib
diberikan oleh Keraton Yogyakarta bagi abd dalem (pegawai) yang bertanggung
jawab dalam urusan keagamaan keraton.
[2] Pada tahun
1902 untuk kedua kalinya Dahlan berangkat ke Mekkah. Pada kesempatan ini ia
bertemu tokoh yang dikaguminya, yaitu Rashid Ridho. Pada pertemuan itu mereka
banyak mendiskusikan berbagai masalah pembaharuan Islam di dunia. Dahlan
semkain yakin bahwa pengajaran Islam ditanah airnya sudah jauh ketinggalan
zaman dan harus diganti dengan cara yang lebih modern. Lihat dalam Windi A, 100
Tokoh yang Mengubah Indonesia. (Narasi: Yogyakarta, 2007), hal. 34
[3] Gamal
Komandoko, Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara,(Pusataka Widyatama:
Yogyakarta, 2007), hal. 34.
[4] Selain itu
juga upaya yang dilakukan ahmad adalah menentukan arah kiblat di masjid
keraton, ia melakukan secara diam-diam bersama dengan beberapa pengikutnya,
meluruskan kiblat dengan memberi garis putih di shaf masjid tersebut. Yang
tentu saja tindakan ini ditentang oleh keraton. Lihat lebih lengkap dalam Herry
Mohammad, dkk, tokoh-tokoh Islam yang
berpengaruh Abad 20, (Gema Insani: Jakarta, 2008), hal 20.
[5] Takhayul
adalah kepercayaan yang tidak ada asal usulnya.
[6] Bid’ah adalah
suatu cara baru dalam agama yang diada-adakan untuk menandingi syari’ah, yang
dmaksudkan dengan mengerjakan untuk membuat nilai lebih dalam ibadah kepada
Allah SWT.
[7] Khurafat
memiliki makna yang hampir sama dengan bid’ah. Hanya saja khurafat merupakan
suatu cara baru yang diada-adakan (sifatnya tambahan) dalam hal kepercayaan dan
i’tiqad.
[8] Majelis
Diklitbang PP Muhammadiya, 1 Abad Muhammadiyah, (Kompas Media Nusantara:
Jakarta, 2010), hal. 28
[9] Yang menjadi
sorotan pula adalah karena Muhammadiyah menyebut dirinya sebgai gerakan Islam,
gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Rumusan semacam ini mengisyartkan
tanggung jawab yang besar sekali, sementara energi Muhammadiyah lebih banyak
terkuras oleh kerja-kerja sosial kemasyarakatan (diungkapkan oleh Prof. Dr.
Ahmad Syafii Maarif). Lihat lebih jelas dalam Abdul Munir Mulkhan, Jejak
Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, (Kompas Media
Nusantara: Jakarta, 2010), hal. VII
0 komentar:
Post a Comment