Konsep Ekonomi Islam Menghindari Krisis Ekonomi

A. Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini kita sering mendengar dibicarakannya sebuah topik hangat baik dalam media elektronik maupun dalam media massa yaitu mengenai masalah krisis Global yang melanda negara Adidaya, karena Amerika Serikat adalah negara super power, otomatis hal ini berimbas kepada perekonomian dunia. Oleh beberapa ekonom dunia, hal ini disinyalir terjadi karena bobroknya sistem ekonomi kapitalisme, yang diagung-agungkan oleh Amerika Serikat. Salah satunya karena sistem ribawi yang sifatnya mendzolimi masyarakat.
Akhirnya para ekonompun sibuk mencari jalan keluar untuk menyelesaikan krisis tersebut, dan sekarang mereka sedang melirik sistem ekonomi Islam karena beberapa bukti telah menunjukkan keistimewaannya. Hal ini terbukti sebagaimana diungkapkan dalam surat kabar Republika , bahwasanya saat krisis mengguncang perekonomian Amerika Serikat sejumlah pakar Departemen keuangan negara adidaya tersebut mempelajari berbagai fitur penting perbankan syari’ah. Saat itu pemerintah AS memandang perlu membahas efektifitas sistem perbankan syari’ah dalam kondisi krisis keuangan global.
Bukti lain datang dari Inggris, dimana tahun 2008 bank syari’ah inggris, Islamic Bank of Britan (IBB) kedatangan sejumlah besar nasabah non--muslim। Dengan adanya nasabah baru terasebut IBB melaporkan terjadinya kenaikan jumlah nasabah sebanyak 5% dan 13% pada tabungan nasabah. Di Sudan, sebagai salah satu negara Islam yang mengadopsi sistem ekonomi Islam juga telah membuktikan bahwa tingkat inflasi telah menurun drastis dari lebih 100% sebelum ekonominya dilaksanakan secara Islami ke 3% pada tahun 1993 dibawah sistem ekonomi Islam. Inilah kelebihan ekonomi Islam yang mengagumkan yang tidak akan pernah kita dapati dalam sistem ekonomi ribawi.

Hal diatas mebuktikan akan kehebatan ekonomi Islam, salah satu karakteristiknya adalah peniadaan bunga dalam setiap kegiatan perekonomiannya agar masyarakat tidak ada yang terdzolimi serta mengedepankan kemaslahatan masyarakat secara luas. Keistimewaan ini seharusnya diketahui secara mendalam oleh umat Islam sendiri, hal ini ditujukan agar mereka bisa mendukung perekonomian Islam baik dengan jalan menginvestasikan uangnya kepada perbankan syari’ah ataupun bantuan moril lainnya. Apabila umat Islam sudah melakukan hal ini, bukan hal yang mustahil sistem ekonomi Islam akan menjadi sistem ekonomi dunia.
Dari pemaparan diatas penulis akhirnya mencoba untuk menguraikan akan keistimewaan ekonomi Islam dalam memecahkan masalah krisis dengan judul “Pendekatan Ekonomi Syari’ah Menghindari Krisis Ekonomi Global” dengan harapan makalah ini akan memberikan motivasi dan semangat penulis dan pembaca selaku umat Islam agar lebih mendukung perekonomian syari’ah baik bantuan moril maupun materil.

B. Ekonomi Islam
Ekonomi merupakan bagian integral dari ajaran islam, dan karenaya ekonomi islam akan terwujud hanya jika ajaran Islam diyakini dan dilaksanakan secara menyeluruh. Ekonomi Islam mempelajari perilaku ekonomi individu-individu yang secara sadar dituntun oleh ajaran islam alqur’an dan Sunnah dalam memecahkan masalah ekonomi yang dihadapi.

1. Pengertian Ekonomi Islam
Berbagai ahli ekonomi muslim memberikan definisi ekonomi Islam yang bervariasi, diantaranya ada yang mengungkapkan bahwa Ekonomi Islam adalah kumpulan dari dasar-dasar umum ekonomi yang diambil dari al-qur’an dan sunnah Rasulullah serta dari tatanan ekonomi yang dibangun atas dasar-dasar tersebut sesuai dengan berbagai macam bi’ah (lingkungan) dan setiap zaman. Adapula yang mendefinisikan bahwasanya ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari usaha-usaha manusia untuk mengalokasikan dan mengelola sumber daya untuk mencapai falah berdasarkan pada prinsip dan nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah. Dan Ekonomi Islam hadir bukan hanya sebagai wujud ekspresi syari’ah yang memberikan eksistensi Islam ditengah-tengah eksistensi berbagai sistem ekonomi modern. Tapi sistem ekonomi Islam lebih sebagai pandangan agama Islam yang kompleks dan merupakan hasil ekspresi akidah Islam dengan nuansa yang luas dan target yang jelas. `

2. Tujuan Ekonomi Islam
Islam merumuskan suatu sistem ekonomi yang berbeda sama sekali dari sistem-sistem yang sedang berlaku, ia memiliki akar dalam syari’ah yang menjadi sumber pandangan dunia sekaligus tujuan-tujuannya. Dimana tujuan ekonomi Islam itu didasarkan pada konsep-konsepnya sendiri mengenai kesejahteraan manusia (maslahah), kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), dan kehidupan yang baik (hayat thayyibah). Sebagaimana yang diungkapkan al-Ghozali bahwasanya yang termasuk dalam tujuan-tujuan syari’ah (Maqashidu Syari’ah) adalah segala sesuatu yang perlu dipenuhi untuk melindungi dan memperkaya iman, kehidupan, akal, keturunan dan harta benda.

3. Karakteristik Ekonomi Islam
Adapun keistimewaan dan karakteristik Ekonomi Islam adalah sebagai berikut:
a. Ekonomi Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep Islam yang utuh dan menyeluruh,
b. Aktivitas ekonomi Islam merupakan suatu bentuk ibadah,
c. Tatanan ekonomi Islam memiliki tujuan yang sangat mulia,
d. Ekonomi Islam merupakan sistem yang memiliki pengawasan melekat yang berakar dari keimanan dan tanggung jawab kepada Allah,
e. Ekonomi Islam merupakan sistem yang menyelaraskan antara maslahah individu dan maslahah umum.
Adapun yang menjadi Dasar-dasar ekonomi Islam adalah sebagai berikut:
a. Mengakui hak milik (baik secara individu maupun umum)
Dalam hal ini ekonomi Islam memadukan antara maslahah individu dan maslahah umum. Nampaknya inilah satu-satunya jalan untuk mencapai keseimbangan dan keadilan di masyarakat.
b. Kebebasan ekonomi bersyarat
Islam memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk memiliki, memproduksi, mengkonsumsi, berjual beli dan sebagainya, tetapi dengan syarat tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
c. At-Tkaful Al-Ijtima’i (kebersamaan dalam menanggung suatu kebaikan)
Dalam kerangkan ekonomi Islam adalah kebersamaan yang timbal balik antar sesama anggota masyarakat dengan pemerintahan baik dalam kondisi lapang maupun sempit untuk mewujudkan kesejahteraan atau dalam mengantisispasi suatu bahaya.

4. Kebijakan Ekonomi Islam
Tujuan ekonomi Islam yakni mencapai falah akan dapat terwujud apabila kebijakannya mendukung. Yang dimaksud engan kebijakan disini adalah segala sesuatu yang akan menjadi persyaratan bagi implementasi ekonomi islam, sebagai suatu keharusan. Sebagai sebuah basis, maka eksistensi hal-hal dibawah ini mutlak harus diusahakan, sebab jika tidak maka akan mengganggu optimalisasi dan efektivitas implementasi ekonomi islam. Kebijakan ini adalah sebagai berikut:
a. Penghapusan Riba
Islam telah melarang segala bentuk riba karenanya ia harus dihapuskan dalam ekonomi Islam. Pelarangan riba secara tegas ini dapat dijumpai dalam Alqur’an dan Hadits. Salah satunya buktinya adalah sebagai berikut:
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."
Esensi dari penghapusan riba adalah penghapusan ketidak adilan dan penegakan keadilan dalam ekonomi.

b. Pelembagaan zakat
Sebagaimana diketahui zakat adalah (levy) yang diwajibkan atas harta seorang muslim yang telah memenuhi syarat, bahkan ia merupakan rukun islam yang ketiga. Zakat pada dasarnya merupakan suatu sistem yang brfungsi untuk menjamin distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat secara lebih baik.
Ia akan menjadi sebuah sistem yang akan menjaga keseimbangan dan harmoni sosial diantara kelompok kaya (muzakki) dan kelompok miskin (mustahik).
c. Pelarangan Gharar
Ajaran islam melarang aktivitas ekonomi yang mengandung gharar. Dari segi bahasa, gharar berarti resiko, atau juga ketidakpastian. Menurut Ibnu Taimiyah gharar adalah sesuat dengan karakter yang tidak diketahui sehingga menjual hal ii adalah seperti perjudian. Dengan kataa lain, gharar terjadi karena seseorang sama sekali tidak dapat mengetahui kemungkinan kejadian sesuatu sehingga bersifat spekulatif.
Selain itu juga dalam gharar terkandung pengertian, sebagaimana game theory, apa yang dissebut zero sum game with uncertainty payoffs. Yang artinya jika satu pihak menerima keuntungan, maka pihak lain pasti mengalami kerugian.

C. Krisis Ekonomi
Krisis pada pinjaman subprime mortgage di Amerika serikat pada pertengahan 2007 menyentak kesadaran kita semua akan akibat berantainya ke seluruh penjuru dunia. Pada awal 2008 , krisis tersebut meluas dan menjadi pemicu krisis keuangan yang lebih luas mencakup pasar modal dan perbankan. Indonesiapun tak bisa memngkiri krisis ini, dan menjadi salah satu negara yang terkena imbasnya. Dimana indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) jatuh secara beruntun, dan akhirnya ditutup selama 3 hari guna mencegah kekacauan dan kejatuhan yang lebih besar.

1. Pengertian Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi secara umum didefinisikan sebagai jatuhnya nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing utama dalam hal ini biasanya adalah US dolar, yang dibarengi dengan meningkatnya tingkat harga secara keseluruhan.
Sedangkan Bank Dunia mendefinisikan krisis keuangan bila indeks krisis melebihi i,5 kali dari standar deviasi terhadap rata-rata. Dalam penelitian ini, indeks krisis hanya menggunakan indikator nilai tukar rupiah terhadap US dilar dengan batas 2 kali standar deviasi diatas rata-rata.
Dari dua definisi ini dapat diambil kesimpulan bahwasanya krisis ekonomi terjadi ketika nilai mata uang domestik jatuh yang dibarengi dengan naiknya semua harga yang ada dipasaran.

2. Sebab-sebab Terjadinya Krisis Ekonomi
Beberapa pendapatpun mencuat ke permukaan tentang apakah sebenarnya penyebab utama yang menyebabkan krisis ini terjadi, salah satunya dari Zulhelmy yang mengungkapkan bahwa akar masalah timbulnya krisis (khususnya krisis global sekarang ini) adalah sebenarnya ada empat: Pertama: disingkirkannya emas sebagai cadangan mata uang dan dimasukkannya dolar Amerika sebagai pendamping mata uang dalam Perjanjian Bretton Woods, setelah berakhirnya Perang Dunia II, kemudian sebagai substitusi mata uang pada awal dekade 70-an, telah mengakibatkan dolar Amerika mendominasi perekonomian global.
Akibatnya, goncangan ekonomi sekecil apapun yang terjadi di Amerika pasti akan menjadi pukulan telak bagi perekonomian negara-negara lain. Sebabnya, sebagian besar—jika tidak keseluruhannya—cadangan devisa mereka ditopang dengan dolar yang nilai intrinsiknya tidak sebanding dengan kertas dan tulisan yang tertera di dalamnya (nilai intrinsik tidak sebanding dengan nilai ekstrinsiknya). Setelah mata uang Euro memasuki arena pertarungan, baru negara-negara tersebut menyimpan cadangan devisanya dalam bentuk mata uang non-dolar. Meski demikian, dolar tetap memiliki prosentase terbesar dalam cadangan devisa negara-negara tersebut secara umum.
Oleh karena itu, selama emas tidak menjadi cadangan mata uang, krisis ekonomi seperti ini akan terus terulang. Sekecil apapun krisis yang menimpa dolar dengan segera akan menjalar ke perekonomian negara-negara lain. Bahkan dampak krisis politik yang dirancang Amerika juga akan berakibat terhadap dolar, yang berarti juga berdampak pada dunia .
Kedua: hutang-hutang riba juga menciptakan masalah perekomian yang besar hingga kadar hutang pokoknya menggelembung seiring dengan waktu, sesuai dengan prosentase riba yang diberlakukan padanya. Terjadinya krisis pengembalian pinjaman dan lambannya roda perekonomian adalah karena ketidakmampuan sebagian besar kelas menengah dan atas untuk mengembalikan pinjaman dan melanjutkan produksi .
Ketiga: sistem yang digunakan di bursa dan pasar modal, yaitu jual-beli saham, obligasi dan komoditi tanpa adanya syarat serah-terima komoditi yang bersangkutan—bahkan bisa diperjualbelikan berkali-kali, tanpa harus mengalihkan komoditi tersebut dari tangan pemiliknya yang asli—adalah sistem yang batil dan menimbulkan masalah, bukan menyelesaikan masalah. Pasalnya, naik-turunnya transaksi terjadi tanpa proses serah-terima, bahkan tanpa adanya komoditi yang bersangkutan. Semua itu memicu terjadinya spekulasi dan goncangan di pasar.
Keempat: ketidaktahuan akan fakta kepemilikan . Kepemilikan di mata para pemikir Timur dan Barat ada dua: kepemilikan umum yang dikuasai oleh negara, sebagaimana teori Sosialisme-Komunisme, dan kepemilikan pribadi yang dikuasai oleh kelompok tertentu.
Ketidaktahuan akan fakta kepemilikan ini memang telah dan akan menyebabkan goncangan dan masalah ekonomi. Itu karena kepemilikan tersebut bukanlah sesuatu yang dikuasai oleh negara atau kelompok tertentu, melainkan ada tiga macam:
Kepemilikan umum: meliputi semua sumberdaya alam, baik yang padat, cair maupun gas; seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas; termasuk semua yang tersimpan di perut bumi dan semua bentuk energi; juga industri berat yang menjadikan energi sebagai komponen utamanya. Negara harus mengekplorasi dan mendistribusikannya kepada rakyat, baik dalam bentuk barang maupun jasa.
Kepemilikan negara: meliputi semua kekayaan yang diambil negara, seperti pajak dengan segala bentuknya serta perdagangan, industri dan pertanian yang diupayakan oleh negara, di luar kepemilikan umum. Semuanya ini dibiayai oleh negara sesuai dengan kepentingan negara.
Kepemilikan pribadi. Kepemilikan ini bisa dikelola oleh individu sesuai dengan hukum syariah.
Sosialisme gagal dalam bidang ekonomi karena telah menjadikan semua kepemilikan dikuasai oleh negara. Kondisi inilah yang mengantarkan pada kehancuran.
Kapitalisme juga gagal dan kini sampai pada kehancuran. Itu karena Kapitalisme telah menjadikan individu, perusahaan dan institusi berhak memiliki apa yang menjadi milik umum, seperti minyak, gas, semua bentuk energi dan industri senjata berat sampai radar. Pada saat yang sama, negara tetap berada di luar pasar dari semua kepemilikan tersebut. Hasilnya adalah goncangan secara beruntun dan kehancuran dengan cepat, dimulai dari pasar modal, lalu menjalar ke sektor lain, dan dari institusi keuangan menjalar ke yang lain .
Begitulah, Sosialisme-Komunisme telah runtuh, dan kini Kapitalisme sedang atau nyaris runtuh.


D. Pendekatan Sistem Ekonomi Islam Menghindari Krisis Ekonomi
Banyak pakar yang memberikan solusi terhadap krisis ekonomi yang terjadi. Meskipun terdapat perbedaan, tetapi pada umumnya kunci dari solusi krisis adalah menghilangkan sistem bunga (riba) dalam ekonomi. Adapun beberapa dari mereka adalah :
1. Akram Khan dan Ariff
Akram Khan dan Ariff mengatakan bahwa untuk menstabilkan ekonomi, diperlukan empat instrumen sebagai stabilizers, yaitu:
a. Sistem perbankan harus terbebas dari bunga (riba). Dimana bunga merupakan tambahan terhadap uang yang disimpan pada lembaga keuangan atau terhadap uang yang dipinjamkan.
b. Pasar uang yang bebas dari spekulasi. Ini diisyaratkan agar pasar uang berada dalam keadaan seimbang secara terus-menerus antara kekayaan dalam bentuk uang dan nilai riil saham.
c. Upah yang adil. Upah yang adil bermakna bahwa upah yang diberikan haruslah memenuhi kriteria keadilan. Adil disini bermakna proporsional.

2. Muhammad Ramzan Akhtar
Muhammad Ramzan Akhtar mengatakan bahwa, untuk menciptakan sistem ekonomi yang benar-benar Islami, diperlukan 3 hal berikut, yaitu:
a. Menghapuskan sistem riba (interest). Basis bunga harus digantikan dengan basis bagi untung dan resiko (profit and risk sharing),
b. Perlu mendirikan institusi zakat. Zakat dapat dipakai sebagai alat ukur depresi atau booming dalam ekonomi. Zakat memiliki 3 peran: pemberantasan kemiskinan, stabilisasi dan pembangunan ekonomi.
c. Faktor moral. Dalam sistem ekonomi Islam ada 2 faktor yang diperlukan, yaitu faktor moral dan faktor material. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi sekuler, dimana hanya faktor materi yang diperhatikan.

3. Menurut Mahmud Abu Saud
Mahmud Abu Saud mengatakan bahwa, untuk menciptakan sistem ekonomi Islam sebagai solusi, diperlukan 6 pilar, yaitu:
a. Work and reward. Setiap muslim diharuskan untuk bekerja, dan diapun harus menerima risiko apapun yang terkait dengan pekerjaan itu, tidak ada keuntungan / manfaat yang diperoleh tanpa risiko. Inilah jiwa dari prinsip al-haraj biddhaman (dimana ada manfaat, disitu ada resiko).
b. No harding (menimbun uang) and monopoly. Tidak seorangpun diizinkan menimbun uang, dan uang kontan (cash) harus diusahakan. Penimbunan biasanya digunakan untuk spekulasi yang dapat berimbas pada ketidakstabilan ekonomi. Tidak ada satupun yang boleh melakukan monopoli atau oligopoli, karena Islam mendorong persaingan dalam ekonomi sebagai jiwa dari fastabiqul khairat.
c. Sepreciation. Segala sesuatu didunia ini mengalami depresiasi (penyusutan). Kekayaan juga terdepresiasi dengan zakat. Yang abadi didunia ini hanya Allah SWT.
d. Money is a just a mean of exchange. Uang bukan merupakan alat penyimpanan nilai. Uang bukan merupakan alat komoditi. Komoditi mempunyai harga, tetapi uang tidak.
e. Interest is riba. Jumhur ulama mengatakan bahwa bunga (interest) adalah mutlak riba, yang sangat diharamkan dalam Islam. Baik itu oleh Majlis Tarjih Muhammadiya, Organisasi Konferensi Islma (OKI), maupun oleh Mufti Negara Mesir.
f. Social solidarity. Kaum muslimin ibarat satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh akan merasakan sakit. Jika seorang muslim mengalami problem kemiskinan, maka tugas kaum musliminlah untuk menolong orang miskin itu. Karena kekayaan adalah amanah dan titipan dari Allah SWT.

Adapun dalam sisi perbankan ekonomi Islam telah memberikan solusi (alternatif) untuk mengindari praktek riba (bunga/interest) didalam proses perbankannya. Karena para ulama dalam dan luar negri telah memfatwakan bahwa bunga dalam bank termasuk kedalam kategori riba.
Solusi tersebut berupa produk Mudharabah yang berbasis pada nisbah bagi hasil yang dinyatakan dalam bentuk prosentase antara shahibul mal dan mudharib, bukan dinyatakan dalam nilai nominal Rp tertentu, jadi nisbah keuntungan itu misalnya adalah 50:50, 70:30 atau bahkan 99:1.
Oleh karena itu, nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan porsi setoran modal. Ketentuan ini merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah itu sendir yang tergolong kedalam kontrak investasi (natural uncertanty contrasts). Dalam kontrak ini, return dan timing cash flow nya tergantung kepada kinerja sektor riilnya, adapun perbedaan yang signifikan antara Mudharabah dan Bunga dijelaskan tabel yang dicantumkan dalam lampiran .
Dari paparan diatas penulis sangat yakin bahwa sesungguhnya sistem ekonomi Islamlah satu-satunya solusi yang ampuh dan steril dari semua krisis ekonomi. Karena sistem ekonomi Islam benar-benar telah mencegah semua faktor yang akan menyebabkan krisis ekonomi.
Pertama: Sistem ekonomi Islam telah menetapkan bahwa emas dan perak merupakan mata uang, bukan yang lain. Mengeluarkan kertas substitusi harus ditopang dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang tersebut mempunyai nilai intrinsik yang tetap, dan tidak berubah.
Kedua: Sistem ekonomi Islam melarang riba, baik nĂ¢si’ah maupun fadhal , juga menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal kaum Muslim juga terdapat bagian khusus untuk pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, termasuk para petani, sebagai bentuk bantuan untuk mereka, tanpa ada unsur riba sedikit pun di dalamnya.
Ketiga: Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum dikuasai oleh penjualnya. Karena itu, haram menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang dibolehkan oleh Kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan.
Keempat: Sistem ekonomi Islam juga melarang individu, institusi dan perusahaan untuk memiliki apa yang menjadi kepemilikan umum, seperti minyak, tambang, energi dan listrik yang digunakan sebagai bahan bakar. Islam menjadikan negara sebagai penguasanya sesuai dengan ketentuan hukum syariah.
Begitulah, sistem ekonomi Islam benar-benar telah menyelesaikan semua kegoncangan dan krisis ekonomi yang mengakibatkan derita manusia. Hanya saja sistem ekonomi Islam ini bisa diterapkan apabila adanya politik ekonomi Islam yang membutuhkan sistem kenegaraan yang Islami yaitu sistem khilafah Islamiyah.

E. Kesimpulan
Dengan adanya krisis yang telah terjadi di Amerika Serikat baru-baru ini, akibat rapuh dan bobroknya sistem kapitalis yang mereka agung-agungkan. hal ini sangat berdampak pada keadaan ekonomi di dunia, tak terkecuali Indonesia sendiri. Para pakar ekonomi duniapun mulai mencari solusi untuk memecahkan krisis yang terjadi ini, dengan fakta yang ada di surat kabar dan beberapa majalah ternyata mereka mulai melirik sistem ekonimi Islam. Itu disebabkan karena tidak tergoyahkannya beberapa negara dan lembaga keuangan yang menerapkan sistem ekonomi Islam ini, yang lebih mengedepankan usaha dalam sektor riil dan menghilangkan sistem riba dengan alternatif mudharabah. Sebut saja Negara Sudan salah satu faktanya yang telah menerapkan sistem Ekonomi Islam dengan berkurangnya Inflasi yang terjadi, dari 100% (Hyper Inflation) menjadi 3% (dalam keadaan normal).
Kita sebagai umat Islam mengetahui bahwasanya Islam adalah agama yang tidak hanya memperhatikan kehidupan akhirat, melainkan lebih dari itu, Islam adalah agama yang kaffah dan rahmatan lil ‘alamin. Mengembangkan dan memajukan ekonomi Islam adalah cita-cita kita bersama, maka dari itu kita bantu dengan semangat keislaman, baik moril maupun materil untuk mewujudkannya. Amin ya robbal ‘alamin.

F. Saran-saran
Ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan, diantaranya:
1. Diharapkan kepada seluruh umat Islam agar meyakini bahwa Islam adalah agama yang kaffah dan dapat memecahkan berbagai problematika masa kini khususnya krisis ekonomi, dengan jalan memperdalam khazanah keilmuan tentang ekonomi islam.
2. Diharapkan para ‘Ulama ikut serta dalam menyelesaikan masalah krisis ekonomi yang terjadi, dengan mempraktekan pengetahuan-pengetahuan tentang ajaran Islam yang telah dimilikinya, tidak hany sekedar menjadi teori saja.
3. Diharapkan kepada pemerintah dapat bekerjasama dengan para ulama, untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, bahagia dan sentosa yang bebas dari krisis ekonomi.

Referensi

Alqur’anul Karim
An-Nababan, M. Faruq, Sistem Ekonomi Islam (pilihan setelah kegagalan sistem kapitalis dan sosialis), Jogjakarta: UII Press, 2002.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Surabaya: Risalah Gusti, 1999.
Izzan, Ahmad, Drs. M.Ag dan Tanjung, Syahri, S. Ag, “Referensi Ekonomi Syari’ah (ayat-ayat al-qur’an yang berdimensi ekonomi), Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
Handry Imansyah, Dr. Muhammad, Krisis Keuangan di Indonesia Dapatkah Diramalkan?, Jakarta: PT elex Media Komputindo, 2009, hal xxi
Humaidi, M. Luthfi, Gold Dinar (Sistem Moneter Global yang Stabil dan Berkeadilan), Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2007.
Lekachman, Robert dan Loon, Borin Van, Kapitalisme (Teori dan sejarah perkembangannya), Yogyakarta: Resist Book, 2008.
Madjid, DR. M. Shabri Abdul [alumni Bidang Ekonomi padaInternational Islamic University, Malaysia (IIUM)] http://www.bmtlink.web.id/Wacana 180502.htm.
Pusat Pengakjian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2008.
Putraatmadja, Karnaen A. dan Tanjung, Hendri, Bank Syari’ah, teori. Praktek dan peranannya, Jakarta: Celestial Publishing, 2007.
Republika, tanggal 19 januari 2009.
Salim, M, Profit Sharing Vs Interest (sebuah kajian perbandingan), CIOS: Ponorogo, 2007.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, Edisi 2, EKONISIA Kampus Ekonomi UII Yogyakarta: Yogyakarta, 2001
Sulaiman, Thahir Abdul Muhsin, yang diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal, Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam, Bandung: PT. Al- Ma’arif.
http://www.detikriau.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1558&Itemid= 86.




Mekanisme Pasar dalam Perspektif Ekonom Muslim

Pendahuluan
Pasar adalah sebuah mekansime pertukaran barang dan jasa yang alamiah dan telah berlangsung sejak peradaban awal manusia.Islam menetapkan pasar pada kedudukan yang penting dalam perekonomian.Praktik ekonomi pada masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin menunjukkan adanya peranan pasar yang bersar. Rasulullah sangat menghargai harga yang dibentuk oleh pasar sebagai harga yang adil. Beliau menolak adanya suatu price intervention seandainya perubaha harga terjadi karena mekanisme pasar yang wajar. Namun, pasar di sini mengharuskan adanya moralitas, antara lain: persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy) dan keadilan (justice). Jika nilai-nilai ini telah ditegakkan, maka tidak ada alasan menolak harga pasar.

Dan pasarpun telah mendapatkan perhatian memadai dari para ulama klasik sepertia Abu Yusuf, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah. Pemikiran-pemikiran mereka tentang pasar tidak saja mampu memberikan analisis yang tajam tentang apa yang terjadi pada masa itu, tetapi tergolong ‘futuristik’. Banyak dari pemikiran mereka baru dibahas oleh ilmuwan-ilmuwan Barat beratus-rauts tahun kemudian. Berikut akan disajikan sebagian dari pemikiran mereka yang tentu saja merupakan kekayaan khazanah intelektual yang sangat berguna pada masa kini dan masa depan.

A. Pemikiran Abu Yusuf
Pemikiran Abu Yusuf tentang pasar dapat dijumpai dalam bukunya Al-Kharaj. Selain membahas prinsip-prinsip perpajakan dan anggaran negara yang menjadi pedoman kekhalifahan Harun Al-Rasyid di Baghdad, buku ini juga membicarakan beberapa prinsip dasar mekanisme pasar. Ia telah menyimpulkan bekerjanya hukum permintaan dan penawaran pasar dalam menentukan tingkat harga, meskipun kata permintaan dan penawaran ini tidak ia katakan secara eksplisit.
Masyarakat luas pada masa itu memahami bahwa harga suatu barang hanya ditentukan oleh jumlah penawarannya saja. Dengan kata lain, bila hanya tersedia sedikit barang, maka harga akan mahal. Sebaliknya jika tersedia banyak barang, maka harga akan murah.

Abu yusuf membantah pemahaman seperti ini, karena pada kenyataannya tidak selalu demikian. Mengenai hal ini Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj mengatakan ,

“tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal bukan karena kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah (Sunnatullah). Kadang-kadang makanan berlimpah tapi mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit, tetapi harganya murah”.

Pernyataan ini secara implisit menyatakan bahwa harga bukan hanya ditentukan oleh permintaan saja, tetapi juga tergantung pada penawaran terhadap barang tersebut . Bahkan, Abu Yusuf mengindikasikan adanya variabel-variabe lain yang juga turut mempengaruhi harga, misalnya jumlah uang beredar di negara itu, penimbunan atau penahanan suatu barang, atau lainnya.

Pada dasarnya pemikiran Abu Yusuf ini merupakan hasil observasinya terhadap fakata empiris saat itu, dimana sering kali terjadi melimpahnya barang ternyata diikuti dengan tingginya tingkat harga, sementara kelangkaan barang diikuti dengan harga yang rendah. Poin kontroversi lain dalam analisis ekonomi Abu yusuf ialah pada masalah pengendalian harga (ta’sir). Ia menantang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Anas :“Orang-orang berkata: ‘Ya Rasulullah, harga melonjak tinggi. Maka tentukanlah harga bagi kami.’ Rasulullah menjawab, “Allah yang menentukan harga yang maha penahan, yang maha pelepas dan Maha Pemberi rezeki. Dan aku berharap semoga ketika aku bertemu Allah dan tidak ada seorangpun yang menuntut aku dengan satu kedzaliman dalam masalah harta dan darah”.

B. Pemkiran Al-Ghazali
Ihya ‘Ulumuddin karya Al-Ghazali juga banyak membahas topik-topik ekonomi, termasuk pasar. Dalam magnum apusnya itu ia telah membicarakan barter dan permasalahannya, pentingnya aktivitas perdagangan dan evolusi terjadinya pasar, termasuk bekerjanya kekuatan permintaan dan penawaran dalam mempengaruhi harga.

Dalam penjelasannya tentang proses terbentuknya suatu pasar ia menyatakan,
“Dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun, secara alami mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat saja terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat disatu pihak, dan penyimpanan hasil pertanian dipihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu, dan pandai besi tidak dapat langsung melakukan barter juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, maka ia akan menjual kepada pedagang dengan harga yang relatif murah, untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedangang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang”.

Dari pernyataan tersebut, al-Ghazali menyadari kesulitan yang timbul akibat sistem barter yang dalam istilah ekonomi modern disebut double coincidence, dan karena itu diperlukan suatu pasar. Selanjutnya ia juga memperkirakan kejadian ini akan berlanjut dalam skala yang lebih luas, mencakup banyak daerah atau negara. Kemudian masing-masing daerah atau negara akan berspesialisasi menurut keunggulannya masing-masing, serta melakukan pembagian kerja diantara mereka. Kesimpulan ini jelas tersirat dari pernyataannya,

“selanjutnya praktik-praktik ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat, makanan, dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya di organisasikan ke kota-kota, dimana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya menimbulkan kebutuhan alat transportasi. Terciptalah kelas pedagang regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan dan makan oleh orang lain juga”.

Al-Ghazali tidak menolak kenyataan bahwa mencari keuntungan merupakan motif utama dalam perdagangan. Namun, ia memberikan banyak penekanan kepada etika dalam bisnis, dimana etika ini diturunkan dari nilai-nilai Islam. Keuntungan yang sesungguhnya adalah keuntungan yang akan diperoleh di akhirat kelak. Ia juga menyarankan adanya peran pemerintah dalam menjaga keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Bentuk kurva permintaan yang berlereng negatif dan bentuk kurva penawaran yang berlereng positif telah mendapat perhatian yang jelas dari Al-Ghazali, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit. Ia menyatakan, “jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, maka ia akan menjual barangnya dengan harga murah”.

Yang lebih menarik, konsep yang sekarang kita sebut elastisitas permintaan ternyata telah dipahami oleh Al-Ghazali. Hal ini tampak jelas dari perkataannya bahwa mengurangi margin keuntungan dengan menjual harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan, dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan. Dalam buku-buku teks ekonomi konvevsional didapati penjelasan bahwa barang-barang kebutuhan pokok, misalnya makanan, memiliki kurva permintaan yang inelastis. Al-Ghazali telah menyadari hal ini sehingga ia menyarankan agar penjualan barang pokok tidak dibebani keuntungan yang besar agar tidak terlalu membebani masyarakat. Ia mengatakan, “Karena makanan adalah kebutuhan pokok, perdagangan makanan harus seminimal mungkin didorong oleh motif mencari keuntungan untuk menghindari eksploitasi melalui pengenaan harga yang tinggi dan keuntungan yang besar. Keingingan semacam ini seyogyanya dicari dari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.

C. Pemikiran Ibn Taimiyah
Pemikiran Ibn Taimiyah mengenai mekansime pasar banyak dicurahkan melalui bukunya yang sangat terkenal, yaitu Al_Hisbah fi’l Al-Islam dan Majmu’ Fatawa. Pandangan Ibn Taimiyah mengenai hal ini sebenarnya terfokus pada masalah pergerakan harga yang terjadi pada waktu itu, tetapi ia letakkan dalam kerangka mekanisme pasar. Secara umum, beliau telah menunjukkan the beauty of market (keindahan mekanisme pasar sebagai mekanisme ekonomi), disamping segala kelemahannya.

Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kenaikan harga tidak selalu disebabkan oleh ketidak adilan (zulm/injustice) dari para pedagang/ penjual, sebagaimana banyak dipahami orang pada waktu itu.Ia menunjukkan bahwa harga merupakan hasil interaksi hukum permintaan dan penawaran yang terbentuk karena berbagai faktor yang kompleks. Dalam Al-Hisbahnya, Ibn Taimiyah membantah anggapan ini dengan mengatakan:

“Naik dan turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh adanya ketidakadilan (zulm/ injustice) dari beberapa bagian pelaku transaksi. Terkadang penyebabnya adalah defisiensi dalam produksi atau penurunan terhadap barang yang diminta, atau tekanan pasar. Oleh karena itu, jika permintaan terhadap barang-barang tersebut menaik sementara ketersediaannya. Penawarannya menurun, maka harganya akan naik. Sebaliknya, jika ketersediaan barang-barang menaik dan permintaan terhadapnya menurun, maka harga barang tersebut akan turun juga. Kelangkaan (scarcity) dan keberlimpahan (abudance) barang mungkin bukan disebabkan oleh tindakan sebagian orang. Kadang-kadang disebabkan karena tindakan yang tidak adil atau juga bukan. Hal itu adalah kehendak Allah yang telah menciptakan keinginan dalam hati manusia.”

Awalnya titik equilibrium terjadi pada titik A dengan harga P1 dan Jumlah Q1. Namun, karena terjadi Inefisiensi Produksi, maka terjadi kenaikan biaya produksi yang harus ditanggung oleh perusahaan. Kenaikan ini menyebabkan pergeseran kurva supply dari S1 menjadi S2. Karena pergeseran ini, maka tercipta titik equilibrium baru pada titik B. pada titik B ini, terjadi penurunan kuantitas yang ditawarkan dari Q1 menjadi Q2 dan pada saat yang sama terjadi kenaikan dari P1 menjadi P2.

Ibn Taimiyah pun menyatakan dalam Al-Hisbahnya bahwasanya apabila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah, sebagaimana disebutkan dalam (Economic Concepts of Ibn Taimiyah: 1988)

“if people are selling their goods in commonly accepted manner without any injustice on the part and the price rises in consequence of desrease in the commodity (qillah al-sha’i) on increase in population (kathrah al-khalq), then is due to Allah”.

Dalam kitab Fatawa-nya Ibn Taimiyah juga memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang beberapa faktor uyang mempengaruhi permintaan, dan kemudian tingkat harga. Beberapa faktor ini yaitu:

a. Keinginan masyarakat (al-raghabah) terhadap barang-barang sering kali berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh berlimpah atau kurangnya barang yang diminta tersebut (al-matlub). Suatu barang akan lebih disukai apabila ia langka daripada tersedia dalam jumlah yang berlebihan.
b. Jumlah orang yang meminta (demander/tullah) juga mempengaruhi harga. Jika jumlah orang yang meminta suatu barang besar, maka harga akan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang meminta jumlahnya sedikit.
c. Harga juga akan dipengaruhi oleh kuat atau lemahnya kebutuhan terhadap barang-barang itu, selain juga besar dan kecilnya permintaan. Jika kebutuhan terhadap suatu barang kuat dan berjumlah besar, maka harga akan naik lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhannya lemah dan sedikit.
d. Harga juga akan bervariasi menurut kualitas pembeli barang tersebut (al-muwa’id). Jika pembeli ini merupakan orang kaya dan terpercaya (kredibel) dalam membayar kewajibannya, maka kemungkinan ia akan memperoleh tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak kredibel (suka menunda kewajiban atau mengingkarinya).
e. Tingkat harga juga dipengaruhi oleh jenis (uang) pembayaran yang digunakan dalam transaksi jual beli. Jika uang yang digunakan adalah uang yang diterima luas (naqd ra’ij), maka kemungkinan harga akan lebih rendah jika dibandingkan dengan menggunakan uang yang kurang diterima luas.
f. Hal diatas dapat terjadi karena tujuan dari suatu transaksi harus menguntungkan penjual dan pembeli. Jika pembeli memiliki kemampuan untuk membayar dan dapat memenuhi semua janjinya, maka transaksi akan lebih mudah/lancar dibandingkan dengan pembeli yang tidak memiliki kemampuan membayar dan mengingkari janjinya. Tingkat kemampuan membayar dan kredibilitas pembeli berbeda-beda, dan hal ini berlaku baik bagi pembeli maupun penjualnya, penyewa dan yang menyewakan, dan siapa saja. Objek dari suatu transaksi yang lebih nyata (secara fisik) nyata atau juga tidak. Tingkat harga barang yang lebih nyata (secara fisik) akan lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak nyata. Hal yang sama dapat diterapkan untuk pembeli yang kadang-kadang dapat membayar karena memiliki uang, tetapi kadang-kadang mereka tidak memiliki (uang cash) dan ingin menjamin. Harga pada kasus yang pertama kemungkinan daripada yang kedua.
g. Kasus yang sama dapat diterapkan pada orang yang menyewakan suatu barang. Kemungkinan ia berada pada posisi sedemikian rupa sehingga penyewa dapat memperoleh manfaat dengan tanpa (tambahan) biaya apapun. Namun, kadang-kadang penyewa tidak dapat memperoleh manfaat ini jika tanpa tambahan biaya, misalnya seperti terjadi di desa-desa yang dikuasai penindas atau oleh perampok, atau di suatu tempat diganggu oleh binatang-binatang pemangsa. Sebenarnya, harga (sewa) tanah seperti itu tidaklah sama dengan harga tanah yang tidak membutuhkan biaya-biaya tambahan ini.

Pernyataan-pernyataan diatas sesungguhnya menunjukkan kompleksitas penentu harga dipasar. Pada point (a) Ibn Taimiyah secara implisit menunjukkan peranan ekspektasi terhadap permintaan, kemudian terhadap harganya. Menurutnya, keinginan seseorang terhadap suatu barang dipengaruhi oleh ketersediaan barang tersebut. Jika ketersediaan suatu barang langka, maka masyarakat khawatir bahwa besok kemungkinan akan lebih langka sehingga mereka berusaha untuk meningkatkan permintaannya saat ini. Selanjutnya, harga juga akan meningkat jika jumlah orang yang meminta banyak, demikian pula sebaliknya. Pernyataan ini merupakan logika yang amat jelas tentang hubungan kuantitas yang diminta dengan tingkat harga. Poin (b) tersebut juga mengindikasikan pengaruh agregat demand terhadap harga. Sementara pada point (c) ditunjukkan bahwa barang yang amat dibutuhkan akan menimbulkan permintan kuat terhadapnya sehingga harganya cenderung tinggi. Barang-barang seperti ini berarti tingkat subtitusinya rendah.

Pernyataan pada point (d) menunjukkan analisis Ibn Taimiyah pada transaksi kredit. Jika konsumen kaya dan kredibel, maka kepastian pembayaran akan lebih tinggi sehingga harga akan lebih rendah jika keadaan konsumen adalah sebaliknya. Jika konsumen miskin dan tidak kredibel, maka kemungkinan ia menunda atau mengingkari pembayaran akan lebih besar terjadi. Jadi, di sini secara implisit Ibn Taimiyah sebenarnya memasukkan premi resiko (risk premium) dalam komponen pembentukan harga. Semakin kredibel seorang konsumen, maka semakin rendah premi resikonya sehingga juga lebih rendah, demikian sebaliknya. Pembahasannya tentang premi resiko ini juga tampak jelas dalam point (f), dimana ia juga menyebutkan soal kepastian fisikal dari barang yang diperjual belikan sebagai pembentuk harga. Jika barang yang ditransaksikan tidak jelas wujud fisiknya, maka harga juga akan lebih tinggi sebab harus ada premi resiko yang lebih besar.

Masalah penggunaan jenis uang juga dapat mempengaruhi tingkat harga. Transaksi yang menggunakan uang yang diterima luas (naqd ra’ij) dapat menghasilkan harga yang lebih rendah. Istilah naqd ra’ij sama dengan pengertian hard currencies (mata uang yang kuat) pada saat ini. Dengan menggunakan hard currencies, maka resiko instabilitas nilai uang akan lebih kecil dibandingkan menggunakan soft currencies (mata uang yang lemah) sehingga resiko kesalahan dalam transaksi bisa diperkecil. Pada masa itu, di Damaskus mata uang dirham (uang perak) lebih umum diterima, sementara uang dinar (emas) tidak banyak dipakai sebagai uang. Disamping faktor-faktor yang telah disebutkan dalam point (a) hingga (f), Ibn Taimiyah memasukkan kemungkinan adanya biaya tambahan (additiional cost) dalam transaksi sehingga mempengaruhi harga. Jika terdapat biaya tambahan, maka wajar jika tingkat harga akan lebih tinggi, demikian pula sebaliknya. Biaya tambahan ini ragamnya sangat banyak, meskipun dalam pernyataannya ia hanya mengambil contoh biaya tambahan yang mungkin timbul dalam transaksi di daerah yang beresiko keamanan.

Ibn Taimiyah secara umum sangat menghargai arti penting harga yang terjadi karena mekansime pasar yang bebas. Untuk itu, secara umum ia menolak segala campur tangan untuk menekan atau menetapkan harga (price intervention) sehingga mengganggu mekanisme yang bebas. Sepanjang kenaikan atau penutunan permintaan dan penawaran disebabkan oleh faktor-faktor alamiah, maka dilarang dilakukan intervensi harga. Intervensi hanya dibenarkan pada kasus spesifik dan dengan persyaratan yang spesifik pula, misalnya adanya ikhtikar.


D. Pemikiran Ibn Khaldun
Pemikiran Ibn Khaldun tentang pasar termuat dalam buku yang monumental, Al-Muqaddimah, terutama dalma bab “harga-harga di kota-kota” (Prices in Towns). Ia membagi barang-barang menjadi dua kategori, yaitu barang pokok dan barang mewah. Menurutnya, jika suatu kota berkembang dan jumlah penduduknya semakin banyak, maka harga barang-barng pokok akan menurun sementara harga barang mewah akan menaik. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penawaranbahan pangan dan barang pokok sebab barang ini sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap orang sehingga pengadaannya akan diprioritaskan. Sementara itu, harga barang mewah akan naik sejalan dengan meningkatnya gaya hidup yang mengakibatkan peningkatan permintaan barang mewah ini. Disini, Ibn Khaldun sebenarnya menjelaskan pengaruh permintaan dan penawaran terhadap harga. Secara lebih rinci ia juga menjelaskan pengaruh persaingan antara para konsumen dan meningkatnya biaya-biaya akibat perpajakan dan pungutan-pungutan lain terhadap tingkat harga.

Karena terjadi peningkatan disposible income dari penduduk seiring dengan berkembangnya kota, maka terjadi kenaikan proporsi pendapatan yang digunakan untuk mengonsumsi barang mewah. Akibatnya terjadi pergeseran kurva permintaan terhadap barang mewah dari D1 menjadi D2. Hal ini mengakibatkan kenaikan harga.

Dalam buku tersebut, Ibn Khaldun juga mendeskripsikan pengaruh kenaikan dan penutunan penawaran terhadap tingkat harga.Ia menyatakan,

“Ketika barang-barang yang tersedia sedikit, maka harga-harga akan naik. Namun, bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, maka akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang-barang akan melimpah dan harga-harga akan turun.”
Pengaruh tinggi rendahnya tingkat keuntungan terhadap perilaku pasar, khususnya produsen, juga mendapat perhatian dari Ibn Khaldun. Menurutnya, tingkat keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan, sementara tingkat keuntungan yang terlalu rendah akan membuat lesu perdagangan. Para pedagang dan produsen lainnya akan kehilangan motivasi. Sebaliknya, jika tingkat keuntungan terlalu tinggi perdagangan jugaakan melemah sebab akan menurunkan tingkat permintan konsumen.

Ibn Khaldun sangat menghargai harga yang terjadi dalam pasar bebas, namum ia tidak mengajukan saran-saran kebijakan pemerintah untuk mengelola harga. Ia lebih banyak memfokuskan kepada faktor-faktor yang mempengaruhi harga. Hal ini tentu saja beberda dengan Ibn Taimiyah yang dengan tegas menetang intervensi pemerintah sepanjang pasar perjalanan dengan bebas dan normal.

Penutup
Beberapa tokoh pemikir ekonom Muslim yang telah mencurahkan beberapa pemikirannya mengenai mekanisme pasar ini antara lain Abu Yusuf (731-798 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibn Taimiyah (1263-1328 M), dan Ibn Khaldun (1332-1383 M).
1. Abu Yusuf mengungkapkan bahwa harga bukan hanya ditentukan oleh penawaran saja tapi juga permintaan terhadap barang tersebut. Bahkan, Abu Yusuf mengindikasikan adanya variable-variabel lain yang juga turut memengaruhi harga.
2. Al-Ghazali menyadari kesulitan yang timbul akibat system barter yang dalam istilah ekonomi modern disebut double condicidence, dan karena itu diperlukan suatu pasar.
3. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa naik turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh adanya ketidakadilan (zulm/injustice), terkadang penyebabnya adalah defisiensi dalam produksi atau penurunan terhadap barang yang diminta, atau tekanan pasar.
4. Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, terutama dalam bab “harga-harga di kota-kota” (Prices in Towns) menyatakan bahwa jika suatu kota berkembang dan jumlah penduduknya semakin banyak, maka harga barang-barang pokok akan menurun sementara harga barang mewah akan menaik.

Referensi
Islahi,Abdul Azis,Economic Concepts of Ibn Taimiyah, London: Islamic Foudation, 1988.

Kahf, Dr. Monzer,Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Karim,Ir. H. Adiwarman Azwar, S.E, M.B.A, M.A.E.P, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ed.3, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.

________________,Ekonomi Mikro Islami, Ed. 3, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam/ P3EI, Ekonomi Islam, Ed. 1-1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008.

Qardhawi,Dr. Yusuf,Norma dan Etika Ekonomi Islam, Cet. 5, Jakarta: Gema Insani, 2006.