Pendahuluan
Pasar adalah sebuah mekansime pertukaran barang dan jasa yang alamiah dan telah berlangsung sejak peradaban awal manusia.Islam menetapkan pasar pada kedudukan yang penting dalam perekonomian.Praktik ekonomi pada masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin menunjukkan adanya peranan pasar yang bersar. Rasulullah sangat menghargai harga yang dibentuk oleh pasar sebagai harga yang adil. Beliau menolak adanya suatu price intervention seandainya perubaha harga terjadi karena mekanisme pasar yang wajar. Namun, pasar di sini mengharuskan adanya moralitas, antara lain: persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy) dan keadilan (justice). Jika nilai-nilai ini telah ditegakkan, maka tidak ada alasan menolak harga pasar.Dan pasarpun telah mendapatkan perhatian memadai dari para ulama klasik sepertia Abu Yusuf, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah. Pemikiran-pemikiran mereka tentang pasar tidak saja mampu memberikan analisis yang tajam tentang apa yang terjadi pada masa itu, tetapi tergolong ‘futuristik’. Banyak dari pemikiran mereka baru dibahas oleh ilmuwan-ilmuwan Barat beratus-rauts tahun kemudian. Berikut akan disajikan sebagian dari pemikiran mereka yang tentu saja merupakan kekayaan khazanah intelektual yang sangat berguna pada masa kini dan masa depan.
A. Pemikiran Abu Yusuf
Pemikiran Abu Yusuf tentang pasar dapat dijumpai dalam bukunya Al-Kharaj. Selain membahas prinsip-prinsip perpajakan dan anggaran negara yang menjadi pedoman kekhalifahan Harun Al-Rasyid di Baghdad, buku ini juga membicarakan beberapa prinsip dasar mekanisme pasar. Ia telah menyimpulkan bekerjanya hukum permintaan dan penawaran pasar dalam menentukan tingkat harga, meskipun kata permintaan dan penawaran ini tidak ia katakan secara eksplisit.
Masyarakat luas pada masa itu memahami bahwa harga suatu barang hanya ditentukan oleh jumlah penawarannya saja. Dengan kata lain, bila hanya tersedia sedikit barang, maka harga akan mahal. Sebaliknya jika tersedia banyak barang, maka harga akan murah.
Abu yusuf membantah pemahaman seperti ini, karena pada kenyataannya tidak selalu demikian. Mengenai hal ini Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj mengatakan ,
“tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal bukan karena kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah (Sunnatullah). Kadang-kadang makanan berlimpah tapi mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit, tetapi harganya murah”.
Pernyataan ini secara implisit menyatakan bahwa harga bukan hanya ditentukan oleh permintaan saja, tetapi juga tergantung pada penawaran terhadap barang tersebut . Bahkan, Abu Yusuf mengindikasikan adanya variabel-variabe lain yang juga turut mempengaruhi harga, misalnya jumlah uang beredar di negara itu, penimbunan atau penahanan suatu barang, atau lainnya.
Pada dasarnya pemikiran Abu Yusuf ini merupakan hasil observasinya terhadap fakata empiris saat itu, dimana sering kali terjadi melimpahnya barang ternyata diikuti dengan tingginya tingkat harga, sementara kelangkaan barang diikuti dengan harga yang rendah. Poin kontroversi lain dalam analisis ekonomi Abu yusuf ialah pada masalah pengendalian harga (ta’sir). Ia menantang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Anas :“Orang-orang berkata: ‘Ya Rasulullah, harga melonjak tinggi. Maka tentukanlah harga bagi kami.’ Rasulullah menjawab, “Allah yang menentukan harga yang maha penahan, yang maha pelepas dan Maha Pemberi rezeki. Dan aku berharap semoga ketika aku bertemu Allah dan tidak ada seorangpun yang menuntut aku dengan satu kedzaliman dalam masalah harta dan darah”.
B. Pemkiran Al-Ghazali
Ihya ‘Ulumuddin karya Al-Ghazali juga banyak membahas topik-topik ekonomi, termasuk pasar. Dalam magnum apusnya itu ia telah membicarakan barter dan permasalahannya, pentingnya aktivitas perdagangan dan evolusi terjadinya pasar, termasuk bekerjanya kekuatan permintaan dan penawaran dalam mempengaruhi harga.
Dalam penjelasannya tentang proses terbentuknya suatu pasar ia menyatakan,
“Dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun, secara alami mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat saja terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat disatu pihak, dan penyimpanan hasil pertanian dipihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu, dan pandai besi tidak dapat langsung melakukan barter juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, maka ia akan menjual kepada pedagang dengan harga yang relatif murah, untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedangang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang”.
Dari pernyataan tersebut, al-Ghazali menyadari kesulitan yang timbul akibat sistem barter yang dalam istilah ekonomi modern disebut double coincidence, dan karena itu diperlukan suatu pasar. Selanjutnya ia juga memperkirakan kejadian ini akan berlanjut dalam skala yang lebih luas, mencakup banyak daerah atau negara. Kemudian masing-masing daerah atau negara akan berspesialisasi menurut keunggulannya masing-masing, serta melakukan pembagian kerja diantara mereka. Kesimpulan ini jelas tersirat dari pernyataannya,
“selanjutnya praktik-praktik ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat, makanan, dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya di organisasikan ke kota-kota, dimana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya menimbulkan kebutuhan alat transportasi. Terciptalah kelas pedagang regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan dan makan oleh orang lain juga”.
Al-Ghazali tidak menolak kenyataan bahwa mencari keuntungan merupakan motif utama dalam perdagangan. Namun, ia memberikan banyak penekanan kepada etika dalam bisnis, dimana etika ini diturunkan dari nilai-nilai Islam. Keuntungan yang sesungguhnya adalah keuntungan yang akan diperoleh di akhirat kelak. Ia juga menyarankan adanya peran pemerintah dalam menjaga keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Bentuk kurva permintaan yang berlereng negatif dan bentuk kurva penawaran yang berlereng positif telah mendapat perhatian yang jelas dari Al-Ghazali, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit. Ia menyatakan, “jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, maka ia akan menjual barangnya dengan harga murah”.
Yang lebih menarik, konsep yang sekarang kita sebut elastisitas permintaan ternyata telah dipahami oleh Al-Ghazali. Hal ini tampak jelas dari perkataannya bahwa mengurangi margin keuntungan dengan menjual harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan, dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan. Dalam buku-buku teks ekonomi konvevsional didapati penjelasan bahwa barang-barang kebutuhan pokok, misalnya makanan, memiliki kurva permintaan yang inelastis. Al-Ghazali telah menyadari hal ini sehingga ia menyarankan agar penjualan barang pokok tidak dibebani keuntungan yang besar agar tidak terlalu membebani masyarakat. Ia mengatakan, “Karena makanan adalah kebutuhan pokok, perdagangan makanan harus seminimal mungkin didorong oleh motif mencari keuntungan untuk menghindari eksploitasi melalui pengenaan harga yang tinggi dan keuntungan yang besar. Keingingan semacam ini seyogyanya dicari dari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
C. Pemikiran Ibn Taimiyah
Pemikiran Ibn Taimiyah mengenai mekansime pasar banyak dicurahkan melalui bukunya yang sangat terkenal, yaitu Al_Hisbah fi’l Al-Islam dan Majmu’ Fatawa. Pandangan Ibn Taimiyah mengenai hal ini sebenarnya terfokus pada masalah pergerakan harga yang terjadi pada waktu itu, tetapi ia letakkan dalam kerangka mekanisme pasar. Secara umum, beliau telah menunjukkan the beauty of market (keindahan mekanisme pasar sebagai mekanisme ekonomi), disamping segala kelemahannya.
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kenaikan harga tidak selalu disebabkan oleh ketidak adilan (zulm/injustice) dari para pedagang/ penjual, sebagaimana banyak dipahami orang pada waktu itu.Ia menunjukkan bahwa harga merupakan hasil interaksi hukum permintaan dan penawaran yang terbentuk karena berbagai faktor yang kompleks. Dalam Al-Hisbahnya, Ibn Taimiyah membantah anggapan ini dengan mengatakan:
“Naik dan turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh adanya ketidakadilan (zulm/ injustice) dari beberapa bagian pelaku transaksi. Terkadang penyebabnya adalah defisiensi dalam produksi atau penurunan terhadap barang yang diminta, atau tekanan pasar. Oleh karena itu, jika permintaan terhadap barang-barang tersebut menaik sementara ketersediaannya. Penawarannya menurun, maka harganya akan naik. Sebaliknya, jika ketersediaan barang-barang menaik dan permintaan terhadapnya menurun, maka harga barang tersebut akan turun juga. Kelangkaan (scarcity) dan keberlimpahan (abudance) barang mungkin bukan disebabkan oleh tindakan sebagian orang. Kadang-kadang disebabkan karena tindakan yang tidak adil atau juga bukan. Hal itu adalah kehendak Allah yang telah menciptakan keinginan dalam hati manusia.”
Awalnya titik equilibrium terjadi pada titik A dengan harga P1 dan Jumlah Q1. Namun, karena terjadi Inefisiensi Produksi, maka terjadi kenaikan biaya produksi yang harus ditanggung oleh perusahaan. Kenaikan ini menyebabkan pergeseran kurva supply dari S1 menjadi S2. Karena pergeseran ini, maka tercipta titik equilibrium baru pada titik B. pada titik B ini, terjadi penurunan kuantitas yang ditawarkan dari Q1 menjadi Q2 dan pada saat yang sama terjadi kenaikan dari P1 menjadi P2.
Ibn Taimiyah pun menyatakan dalam Al-Hisbahnya bahwasanya apabila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah, sebagaimana disebutkan dalam (Economic Concepts of Ibn Taimiyah: 1988)
“if people are selling their goods in commonly accepted manner without any injustice on the part and the price rises in consequence of desrease in the commodity (qillah al-sha’i) on increase in population (kathrah al-khalq), then is due to Allah”.
Dalam kitab Fatawa-nya Ibn Taimiyah juga memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang beberapa faktor uyang mempengaruhi permintaan, dan kemudian tingkat harga. Beberapa faktor ini yaitu:
a. Keinginan masyarakat (al-raghabah) terhadap barang-barang sering kali berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh berlimpah atau kurangnya barang yang diminta tersebut (al-matlub). Suatu barang akan lebih disukai apabila ia langka daripada tersedia dalam jumlah yang berlebihan.
b. Jumlah orang yang meminta (demander/tullah) juga mempengaruhi harga. Jika jumlah orang yang meminta suatu barang besar, maka harga akan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang meminta jumlahnya sedikit.
c. Harga juga akan dipengaruhi oleh kuat atau lemahnya kebutuhan terhadap barang-barang itu, selain juga besar dan kecilnya permintaan. Jika kebutuhan terhadap suatu barang kuat dan berjumlah besar, maka harga akan naik lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhannya lemah dan sedikit.
d. Harga juga akan bervariasi menurut kualitas pembeli barang tersebut (al-muwa’id). Jika pembeli ini merupakan orang kaya dan terpercaya (kredibel) dalam membayar kewajibannya, maka kemungkinan ia akan memperoleh tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak kredibel (suka menunda kewajiban atau mengingkarinya).
e. Tingkat harga juga dipengaruhi oleh jenis (uang) pembayaran yang digunakan dalam transaksi jual beli. Jika uang yang digunakan adalah uang yang diterima luas (naqd ra’ij), maka kemungkinan harga akan lebih rendah jika dibandingkan dengan menggunakan uang yang kurang diterima luas.
f. Hal diatas dapat terjadi karena tujuan dari suatu transaksi harus menguntungkan penjual dan pembeli. Jika pembeli memiliki kemampuan untuk membayar dan dapat memenuhi semua janjinya, maka transaksi akan lebih mudah/lancar dibandingkan dengan pembeli yang tidak memiliki kemampuan membayar dan mengingkari janjinya. Tingkat kemampuan membayar dan kredibilitas pembeli berbeda-beda, dan hal ini berlaku baik bagi pembeli maupun penjualnya, penyewa dan yang menyewakan, dan siapa saja. Objek dari suatu transaksi yang lebih nyata (secara fisik) nyata atau juga tidak. Tingkat harga barang yang lebih nyata (secara fisik) akan lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak nyata. Hal yang sama dapat diterapkan untuk pembeli yang kadang-kadang dapat membayar karena memiliki uang, tetapi kadang-kadang mereka tidak memiliki (uang cash) dan ingin menjamin. Harga pada kasus yang pertama kemungkinan daripada yang kedua.
g. Kasus yang sama dapat diterapkan pada orang yang menyewakan suatu barang. Kemungkinan ia berada pada posisi sedemikian rupa sehingga penyewa dapat memperoleh manfaat dengan tanpa (tambahan) biaya apapun. Namun, kadang-kadang penyewa tidak dapat memperoleh manfaat ini jika tanpa tambahan biaya, misalnya seperti terjadi di desa-desa yang dikuasai penindas atau oleh perampok, atau di suatu tempat diganggu oleh binatang-binatang pemangsa. Sebenarnya, harga (sewa) tanah seperti itu tidaklah sama dengan harga tanah yang tidak membutuhkan biaya-biaya tambahan ini.
Pernyataan-pernyataan diatas sesungguhnya menunjukkan kompleksitas penentu harga dipasar. Pada point (a) Ibn Taimiyah secara implisit menunjukkan peranan ekspektasi terhadap permintaan, kemudian terhadap harganya. Menurutnya, keinginan seseorang terhadap suatu barang dipengaruhi oleh ketersediaan barang tersebut. Jika ketersediaan suatu barang langka, maka masyarakat khawatir bahwa besok kemungkinan akan lebih langka sehingga mereka berusaha untuk meningkatkan permintaannya saat ini. Selanjutnya, harga juga akan meningkat jika jumlah orang yang meminta banyak, demikian pula sebaliknya. Pernyataan ini merupakan logika yang amat jelas tentang hubungan kuantitas yang diminta dengan tingkat harga. Poin (b) tersebut juga mengindikasikan pengaruh agregat demand terhadap harga. Sementara pada point (c) ditunjukkan bahwa barang yang amat dibutuhkan akan menimbulkan permintan kuat terhadapnya sehingga harganya cenderung tinggi. Barang-barang seperti ini berarti tingkat subtitusinya rendah.
Pernyataan pada point (d) menunjukkan analisis Ibn Taimiyah pada transaksi kredit. Jika konsumen kaya dan kredibel, maka kepastian pembayaran akan lebih tinggi sehingga harga akan lebih rendah jika keadaan konsumen adalah sebaliknya. Jika konsumen miskin dan tidak kredibel, maka kemungkinan ia menunda atau mengingkari pembayaran akan lebih besar terjadi. Jadi, di sini secara implisit Ibn Taimiyah sebenarnya memasukkan premi resiko (risk premium) dalam komponen pembentukan harga. Semakin kredibel seorang konsumen, maka semakin rendah premi resikonya sehingga juga lebih rendah, demikian sebaliknya. Pembahasannya tentang premi resiko ini juga tampak jelas dalam point (f), dimana ia juga menyebutkan soal kepastian fisikal dari barang yang diperjual belikan sebagai pembentuk harga. Jika barang yang ditransaksikan tidak jelas wujud fisiknya, maka harga juga akan lebih tinggi sebab harus ada premi resiko yang lebih besar.
Masalah penggunaan jenis uang juga dapat mempengaruhi tingkat harga. Transaksi yang menggunakan uang yang diterima luas (naqd ra’ij) dapat menghasilkan harga yang lebih rendah. Istilah naqd ra’ij sama dengan pengertian hard currencies (mata uang yang kuat) pada saat ini. Dengan menggunakan hard currencies, maka resiko instabilitas nilai uang akan lebih kecil dibandingkan menggunakan soft currencies (mata uang yang lemah) sehingga resiko kesalahan dalam transaksi bisa diperkecil. Pada masa itu, di Damaskus mata uang dirham (uang perak) lebih umum diterima, sementara uang dinar (emas) tidak banyak dipakai sebagai uang. Disamping faktor-faktor yang telah disebutkan dalam point (a) hingga (f), Ibn Taimiyah memasukkan kemungkinan adanya biaya tambahan (additiional cost) dalam transaksi sehingga mempengaruhi harga. Jika terdapat biaya tambahan, maka wajar jika tingkat harga akan lebih tinggi, demikian pula sebaliknya. Biaya tambahan ini ragamnya sangat banyak, meskipun dalam pernyataannya ia hanya mengambil contoh biaya tambahan yang mungkin timbul dalam transaksi di daerah yang beresiko keamanan.
Ibn Taimiyah secara umum sangat menghargai arti penting harga yang terjadi karena mekansime pasar yang bebas. Untuk itu, secara umum ia menolak segala campur tangan untuk menekan atau menetapkan harga (price intervention) sehingga mengganggu mekanisme yang bebas. Sepanjang kenaikan atau penutunan permintaan dan penawaran disebabkan oleh faktor-faktor alamiah, maka dilarang dilakukan intervensi harga. Intervensi hanya dibenarkan pada kasus spesifik dan dengan persyaratan yang spesifik pula, misalnya adanya ikhtikar.
D. Pemikiran Ibn Khaldun
Pemikiran Ibn Khaldun tentang pasar termuat dalam buku yang monumental, Al-Muqaddimah, terutama dalma bab “harga-harga di kota-kota” (Prices in Towns). Ia membagi barang-barang menjadi dua kategori, yaitu barang pokok dan barang mewah. Menurutnya, jika suatu kota berkembang dan jumlah penduduknya semakin banyak, maka harga barang-barng pokok akan menurun sementara harga barang mewah akan menaik. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penawaranbahan pangan dan barang pokok sebab barang ini sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap orang sehingga pengadaannya akan diprioritaskan. Sementara itu, harga barang mewah akan naik sejalan dengan meningkatnya gaya hidup yang mengakibatkan peningkatan permintaan barang mewah ini. Disini, Ibn Khaldun sebenarnya menjelaskan pengaruh permintaan dan penawaran terhadap harga. Secara lebih rinci ia juga menjelaskan pengaruh persaingan antara para konsumen dan meningkatnya biaya-biaya akibat perpajakan dan pungutan-pungutan lain terhadap tingkat harga.
Karena terjadi peningkatan disposible income dari penduduk seiring dengan berkembangnya kota, maka terjadi kenaikan proporsi pendapatan yang digunakan untuk mengonsumsi barang mewah. Akibatnya terjadi pergeseran kurva permintaan terhadap barang mewah dari D1 menjadi D2. Hal ini mengakibatkan kenaikan harga.
Dalam buku tersebut, Ibn Khaldun juga mendeskripsikan pengaruh kenaikan dan penutunan penawaran terhadap tingkat harga.Ia menyatakan,
“Ketika barang-barang yang tersedia sedikit, maka harga-harga akan naik. Namun, bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, maka akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang-barang akan melimpah dan harga-harga akan turun.”
Pengaruh tinggi rendahnya tingkat keuntungan terhadap perilaku pasar, khususnya produsen, juga mendapat perhatian dari Ibn Khaldun. Menurutnya, tingkat keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan, sementara tingkat keuntungan yang terlalu rendah akan membuat lesu perdagangan. Para pedagang dan produsen lainnya akan kehilangan motivasi. Sebaliknya, jika tingkat keuntungan terlalu tinggi perdagangan jugaakan melemah sebab akan menurunkan tingkat permintan konsumen.
Ibn Khaldun sangat menghargai harga yang terjadi dalam pasar bebas, namum ia tidak mengajukan saran-saran kebijakan pemerintah untuk mengelola harga. Ia lebih banyak memfokuskan kepada faktor-faktor yang mempengaruhi harga. Hal ini tentu saja beberda dengan Ibn Taimiyah yang dengan tegas menetang intervensi pemerintah sepanjang pasar perjalanan dengan bebas dan normal.
Penutup
Beberapa tokoh pemikir ekonom Muslim yang telah mencurahkan beberapa pemikirannya mengenai mekanisme pasar ini antara lain Abu Yusuf (731-798 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibn Taimiyah (1263-1328 M), dan Ibn Khaldun (1332-1383 M).
1. Abu Yusuf mengungkapkan bahwa harga bukan hanya ditentukan oleh penawaran saja tapi juga permintaan terhadap barang tersebut. Bahkan, Abu Yusuf mengindikasikan adanya variable-variabel lain yang juga turut memengaruhi harga.
2. Al-Ghazali menyadari kesulitan yang timbul akibat system barter yang dalam istilah ekonomi modern disebut double condicidence, dan karena itu diperlukan suatu pasar.
3. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa naik turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh adanya ketidakadilan (zulm/injustice), terkadang penyebabnya adalah defisiensi dalam produksi atau penurunan terhadap barang yang diminta, atau tekanan pasar.
4. Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, terutama dalam bab “harga-harga di kota-kota” (Prices in Towns) menyatakan bahwa jika suatu kota berkembang dan jumlah penduduknya semakin banyak, maka harga barang-barang pokok akan menurun sementara harga barang mewah akan menaik.
Referensi
Islahi,Abdul Azis,Economic Concepts of Ibn Taimiyah, London: Islamic Foudation, 1988.
Kahf, Dr. Monzer,Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Karim,Ir. H. Adiwarman Azwar, S.E, M.B.A, M.A.E.P, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ed.3, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
________________,Ekonomi Mikro Islami, Ed. 3, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam/ P3EI, Ekonomi Islam, Ed. 1-1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008.
Qardhawi,Dr. Yusuf,Norma dan Etika Ekonomi Islam, Cet. 5, Jakarta: Gema Insani, 2006.
0 komentar:
Post a Comment