PENDAHULUAN
Makin banyak manusia tahu, makin banyak pertanyaan timbul. Manusia
ingin tahu tentang asal dan tujuan, tentang dia sendiri, tentang nasibnya,
tentang kebebasannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat manusia, tidak
terjawab oleh ilmu pengetahuan. Pertanyaan ini mungkin juga tidak pernah akan
terjawab oleh filsafat. Namun, filsafat adalah dimana pertanyaan-pertanyaan ini
dikumpulkan, diterangkan dan diteruskan. Filsafat adalah suatu ilmu tanpa
batas, karena tidak hanya menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja,
melainkan apa saja yang menarik perhatian manusia. Sehingga filsafat ini
menjadi hal yang penting yang perlu dipelajari mahasiswa dalam jurusan dan
keahlian apapun.[1]
Oleh karena itu, Makalah ini akan mencoba membahas beberapa hal
terkait dengan filsafat baik dari pengertian, asal usul munculnya serta fungsi
dan klasifikasinya.
PEMBAHASAN
Pengertian Filsafat
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan
dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia.
Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata
(philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan").
Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”.
Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia.
Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia
seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".[2]
Dalam istilah Inggris, philosophy, yang
berarti filsafat, juga berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim
diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan[3].
Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti
cinta kearifan. Namun, cakupan
pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak
hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama,
pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian
pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis
Beberapa filsuf mengajukan beberapa definitif pokok
filsafat seperti: Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik
serta lengkap tentang seluruh realitas. Upaya untuk melukiskan hakekat realitas
akhir dan dasar serta nyata, Upaya untuk menentukan batas-batas jangkauan
pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya. Penyelidikan
kritis dan radikal atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang
diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Sesuatu yang berupaya untuk membantu
kita melihat apa yang kita katakan dan untuk mengatakan apa yang kita lihat.
Kalau menurut tradisi filsafati yang diambil dari
zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan
philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), setelah dia membaca tulisan
Herakleides Pontikos (penganut ajaran Aristoteles) yang memakai kata sophia.
Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya
kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.[4]
Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan masuknya ilmu
pengetahuan serta semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang diberikan
oleh pemikiran keagamaan, peran yang sebelumnya mengikat segala aspek pemikiran
kemudian secara perlahan-lahan digantikan oleh logos (rasio/ ilmu).
Pada saat inilah, para filosof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara
yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara
ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri
dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan
selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati
secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka
mampu mengerti kejadian-kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran
untuk mendekati problem dan kejadian alam semesta secara logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi
pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam
semesta. Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani.
Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Filsafat, terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak kira-kira abad
ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berfikir-fikir dan
berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak
menggantungkan diri kepada agama pada saat itu yang dianggap sebagai “tirai
besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di
daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau
Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya
tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.[5]
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales[6] dari
Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang
terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah
guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang
berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya
Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada
sejarah filsafat.
Kegunaan Filsafat
Adapun tujuan umum mempelajari filsafat antara lain sebagai berikut :
a. Dengan berfilsafat kita lebih menjadi manusia, lebih mendidik
dan membangun diri sendiri.
Sifat yang khusus bagi seorang filsuf ialah bahwa sesadar-sadarnya
apa saja yang termasuk dalam kehidupan manusia, tetapi dalam pada itu juga
mengatasi dunia itu, sanggup melepaskan diri, menjauhkan diri sebentar dari
keramaian hidup dan kepentingan-kepentingan subyektif untuk menjadikan hidupnya
sendiri itu obyek peyelidikannya. Dan juatru kepentingan-kepentingan dan
keinginan-keinginan subyektip itu maka ia mencapai keobyektifan dan kebebasan
hati, yang perlu buat pengetahuan dan penilaian yang obyektif dan benar tentang
manusia dan dunia. Dan sifat ini, sifat mengatasi kesubyektifan belaka, sifat
melepasakan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebuttuhan sendiri, tegasnya
bahwa sifat keobyektifan ini adalah seorang yang dewasa yang belum matang
kerohaniannya.
Telah dikatakan bahwa hidup di dunia ini adalah di dalam dunia dan
mengatasi dunia itu adalah jasmani dan rohani atau dengan perkataan asing,
adalah immanent (berada di dalamnya) dan transcedent (mengatasi dunia material
yaitu sebagai rohani). Manusia adalah rohani-jasmani dalam satu kesatuan tetapi
jiwalah yang merupakan dasar intinya, sumber segala kegiatan dan perinsip
hidup. Maka kurang berpikir berarti lebih tenggelam ke dalam jasmanilah dalam
kebendaan. Berpikir dengan lebih dalam berarti mengalami diri kita sendiri sebagai
transcedent, sebagai mengatasi dunia material sebagai rohani.
b. Berusaha mempertahankan sikap yang obyektif mengenai intisari
dan sifat-sifat barang-barang itu sendiri.
Bila seseorang semakin pantas di sebut “berkpribadian”, semakin
mendekati kesempurnaan kemanusiaan, semakin memiliki “kebijaksanaan”, jika
semakin mempunyai sikap obyektif terhadap dunia ini . Dan sebaliknya seseorang
yang sungguh-sungguh dewasa tidak pertama-tama mencari kepuasan dan
kesenangannya diri sendiri dalam benda-benda.
c. mengajar dan melatih kita memandang dengan luas dan menyembuhkan
kita dari sifat Akuisme dan Aku sentrimisme.
Ini berhubungan erat pula dengan “Spesialisasi” dalam ilmu
pengetahuan yang membatasi lapangan penyelidikan orang sampai satu aspek
tertentu dari pada keseluruhan itu. Hal inilah dala ilmu pengetahuan memang
perlu akan tetapi sering membawa kita kepada kepicikan dalam pandangan,
sehingga melupakan apa saja yang tidak termasuk lapangan penyelidikan itu
sendiri, sifat ini sangat merugikan perkembangan manusia sebagai keutuhan maka
obatnya yang paling manjur ialah “pelajaran filsafat”
Bidang-Bdang Filsafat
Will Durrant, dalam bukunya The Story of Philosophy yang diterbitkan
sejak tahun 1926, mengemukakan bahwa ada lima bdang studi filsafat, yaitu sebagai
berikut:[7]
1. Logika. Logika adalah studi tentang metode berpikir dan metode penelitian
ideal, yang terdiri dari observasi, introspeksi, dedukasi dan induksi,
hipotesis dan eksperimen, analisis dan sintesis dan sebagainya.
2. Estetika. Estetika adalah studi tentang bentuk ideal dan keindahan.
Estetika disebut juga sebgai filsafat seni.
3. Etika. Etika adalah studi tentang perilaku ideal.
4. Politika. Politika adalah studi tentang organisasi sosial yang ideal, yaitu
tentang monarki, aristokrasi, demokrasi, sosialisme, anarkisme dan sebagainya.
5. Metafisika. Metafisika terdiri dari ontologi, filsafat psikologi, dan
epistemologi. [8]
KLASIFIKASI FILSAFAT
Sejarah Perkembangan
Awal Filsafat Dunia
Meski istilah philosophia (Φιλοσοφία) pertama kali dimunculkan oleh
Pythagoras, namun orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah
Thales (640-546 S.M.) dari Mileta (sekarang di pesisir barat Turki). Ia
merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau
kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah
suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya,
unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya.
Dalam buku History and Philosophy of Science karangan L.W.H. Hull (1950),
menulis setidaknya sejarah filsafat dan ilmu dapat dibagi dalam beberapa
periode, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada periode itu.
Periode
pertama, filsafat Yunani abad 6 SM
Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales, Anaximandros, dan Anaximenes
yang dianggap sebagai bapak-bapak fisafat dari Miletos[9]. Thales
berpendapat bahwa sumber kehidupan adalah air. Makhluk yang pertama kali hidup
adalah ikan dan menusia yang pertama kali terlahir dari perut ikan. Thales juga
berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros
mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama
terhadap semua badan yang lain. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai
pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat
raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa
yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Setelah mereka bertiga, Yunani kemudian memiliki
pemikir-pemikir terkenal yang lebih berpengaruh lagi terhadap perkembangan
fisafat, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Phythagoras, Hypocrates, dan lain
sebagainya.
Periode
Kedua, Periode setelah kelahiran Al Masih (Abad 0-6 M)
Pada masa ini pertentangan antara gereja yang
diwakili oleh para pastur dan para raja yang pro kepada gereja, dengan para
ulama filsafat. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja
membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati suri.
Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para
raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
Periode Ketiga, Periode kejayaan Islam (Abad 6-13 M)
Pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami abad
kegelapan, ada juga yang menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan.
Masa keemasan atau kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan
Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku inilah diterbitkan dan
ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan
Hanbali yang ahli dalam hukum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika,
Ibnu Sina ahli kedokteran dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine.
Al-kindi ahli filsafat[10],
Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan
kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu
Khaldun ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan
kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet. Tetapi setelah
perang salib terjadi umat Islam mengalami kemundurran, umat Islam dalam keadaan
porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan
mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM)
adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM).
Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM).
Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga
munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab
filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun
Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya
Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus
mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi,
Ibnu Sina, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, dan Ibnu
Rushd.
Sedangkan Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun
seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang
dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai
seorang filosof.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan
terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli
agama, telah memancing kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta
kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai
atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula
oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi
menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna,
oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama
yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan
Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula
oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada
Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat
menyebabkan seseorang menjadi atheis.[11] Untuk
mencapai kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui
tasawuf (mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh
Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the
Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan
dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam.
Hoesin menyatakan bahwa pelarangan penyebaran
filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang
didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
sejalan dengan pendapat Suriasumantri yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu
dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan mengalami
kemunduran dengan kematian filsafat.
Periode Keempat,
Periode kebangkitan Eropa (Abad 12-17)
Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropa mengalami
kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan
dan terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu
Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa
kebudayaan bangsa-bangsa Eropa. Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara
lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di Toledo
pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke
Italia. Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra dan
Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan buku teks Organon karya
Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John
Salisbury pada tahun 1182.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II
untuk menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna
mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan
pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid dari
Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Jazirah
Arab.
Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan
diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya mengutus orang Jerman
bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan
Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd.
Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Latin, termasuk kitab tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh
Colonymus pada Tahun 1328.
Periode Filsafat Modern[12]
(Abad 17-20 M)
Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen
yang berkuasa dan menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan
juga awal abad kemunduran bagi umat Islam. Berbagai pemikiran
Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka anut adalah rasionalitas,
empirisrme, dan Kritisme. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia
islam. Masa ini juga memunculkan intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin
buku Ibnu Sina, ”The canon of medicine”, Fransiscan Roger Bacon, yang menganut
aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang berbagai kebijakan
gereja dan penguasa pada waktu itu. Dalam
hal ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa. Masa
ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen Katolik dan
Protestan. Perlawanan terhadap
gereja dan raja yang menindas terus berlangsung Revolusi ilmu pengetahuan makin
gencar dan meningkat. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton
dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan kepada
pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas
mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, serta hak berfikir.
Hal serupa juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya
yang berjudul Social Contak.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa
pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari
para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang
berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran
empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang
batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran
kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes
(1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan
perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu
dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan
terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan
menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini
ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”.
Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku
menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain
kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”,
aku berpikir ( menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat
disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and
distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah
itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam
menentukan kebenaran.
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa
dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang
memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang
bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang
menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan
bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh
pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan
yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera
kita.
Adapun Kritisisme oleh Imanuel Kant (1724-1804) mencoba
mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant
berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh.
Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun
dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang
dunia sekitar kita. Ada
kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia
tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti
seperti apa dunia “itu sendiri” (”das Ding an sich”), namun hanya dunia itu
seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua
unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia.
Begitulah pergulatan antar aliran filsafat Modern. Rasionalis diwakili
Descartes, Empiris diwakili Hume, dan Kritisme oleh Kant saling menkritik satu
sama lain. [13]
PENUTUP
Dari pemaparan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
-
Kata falsafah atau
filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa
Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata
majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan
(sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang
“pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”.
-
Sebab
munculnya filsafat adalah karena hilangnya kepercayaan terhadap keyakinan
agama, sehingga para filosof kemudian
mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan
sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah.
-
Bidang-bidang
filsafat antara lain sebagai berikut: Metafisika, Logika, Epistemologi,
Filsafat Ilmu, Filsafa Naturalis, Filsafat Kultural, Filsafat Sejarah,
Estetika, Filsafat Manusia. Dan juga perkembangan filsafat dibagi dalam
beberapa periode.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, cetakan II (Bandung:
Mizan, 2006).
Bertens, Prof K, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta:
Kanisius, 1999).
Bertens, Prof K, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1998).
Durrant, Will, The Story of Philosophy, (New York: Pocket
Book, Inc, 1953)
Hamersma, Harry, Dr. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 2008).
Hardiman, F. Budi Filsafat Modern, dari Machavelli sampai
Nietzsche, cetakan II, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007).
Osborne, Richard, Filsafat untuk Pemula, (Yogyakarta:
Kanisius, 2001).
Rapar,
Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, (Kanisius: Yogyakarta, 1996)
[1] Di
universitas-universitas, fakultas filsafat sering disebut fakutlas sentral atau
inter-fakultas, karena semua fakultas lain yang selalu menyelidiki salah satu
segi dari kenyataan menjumpai petanyaan-pertanyaan yang membutuhkan refleksi
yang tidak lagi termasuk bidang khusus mereka. Lihat lebih jelas dalam Dr.
Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 10
[2] Jan Hendrik
Rapar, Pengantar Filsafat, (Kanisius: Yogyakarta, 1996), hal. 14
[3] Bisa pula
berarti “cinta akan hikmat” atau “cinta akan pengetahuan”. Karena seorang
filsuf adalah seorang pencinta, pencari hikmat atau pengetahuan. Dr. Harry Hamersma, Ibid, hal. 11
[4] Lihat lebih
lengkap dalam, Ibid, hal 11.
[5] Orang-orang
Yunani berkembang, melalui seni-sei drama, ide tentang tata keniscayaan
daripada kebetulan buta. Mereka membangun struktur demokrasi. Mereka telah
mewarisi semangat petualang dengan berperang dilaut dari budaya Minoan
sebelumnya. Mereka banyak melakukan perjalanan.
[6] Thales adalah
orang pertama yang disebut “bijaksana”. Ia adalah seorang politikus ahli
geometri dan pemikir di pelabuhan Miletus yang sangat ramai. Ia berjasa dengan
meramalkan secara tepat gerhana matahari pada tahun 585 SM. Ia adalah pemikir
praktis, lihat dalam Richard Osborne, Filsafat untuk Pemula,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 5
[7] Will Durrant, The
Story of Philosophy, (New York: Pocket Book, Inc, 1953), hal xxvii-xxviii.
Yang dikutip dalam Jan Hendrik Rapar, Op.Cit, hal. 35
[8] Para penulis
ENSIE (Eerste Nederlandse Systematich Ingerichte Encyclopeaedie) membagi
filsafat kedalam sepuluh cabang sebagai berikut: Metafisika, Logika,
Epistemologi, Filsafat Ilmu, Filsafa Naturalis, Filsafat Kultural, Filsafat
Sejarah, Estetika, Filsafat Manusia.
[9] Tidak
kebetulan bahwa pada awal abad ke-6 SM Miletoslah yang menjadi tempat lahir
untuk filsafat dan bukan kota lain, karena pada waktu itu Miletos adalah kota
terpenting dari kedua belas kota Ionia. Kota yang letaknya dibagian selatan
pesisir Asia Kecil ini mempunyai pelabuha yang memungkinkan dengan banyak
budaaya lain. Dengan demikian, Miletos menjadi titik pertemuan untuk banyak
kebudayaan dan segala macam infotmasi dapat ditukar antara orang-orang yang
berasal dari pelbagai tempat. Lihat dalam Prof. Dr. K Bertens, Sejarah
Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 33
[10] Meski pada
umumnya Filsafat islam dipercayai sebagai berawal dari Al-Kindi, tetapi ada
catatan bahwa orang Islam pertama yaang disebut sebgai filsof adalah Iransyahri.
Pemilihan Al-Kindi sebagai filosof pertama dalam sejarah Islam tentu terkait
dengan kenyataan bahwa Al-Kindi lah orang pertama yang berusaha merumuskan
secara sistematis apa itu filsafat Islam. Lihat dalan Haidar Bagir, Buku
Saku Filsafat Islam, cetakan II (Bandung: Mizan, 2006), hal 101
[11] Jika disimpulkan,
Al-Ghozali berpandangan bahwa filsafat Islam tertuju pada kesan bahwa ia tak
terlalu peduli-bahkan siap bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Lihat dalam
Haidar Bagir, Ibid, hal. 223
[12] Istilah modern
berasal dari kata Latin ‘moderna’ yang artinya sekarang, baru atau saat kini.
Atas dasar pengertian asli ini kita bisa mengatakan bahwa manusia senantiasa
hidup di zaman modern, sejauh kekinian menjadi kesadarannya. Sebagai bentuk
kesadaran, modernitas dicirikan oleh tiga hal, yaitu: seubjektivitas, kritik,
dan kemajuan. Lihat lebih lengkap dalam F. Budi Hardiman, Filsafat Modern,
dari Machavelli sampai Nietzsche, cetakan II, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2007), hal. 2-3
[13] Lain halnya dengan
Frederich Nietzshe yang tidak pernah menguraikan filsafatnya secara sistematis.
Karena satu-satunya karya yang direncanakan Nietsche untuk membentangkan
filsafatnya dalam bentuk yang sistematis tidak pernah diselesaikan. Lihat lebih
lengkap dalam Prof K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1998), hal. 85
0 komentar:
Post a Comment