FILSAFAT DAN PERKEMBANGANNYA




PENDAHULUAN
Makin banyak manusia tahu, makin banyak pertanyaan timbul. Manusia ingin tahu tentang asal dan tujuan, tentang dia sendiri, tentang nasibnya, tentang kebebasannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat manusia, tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan. Pertanyaan ini mungkin juga tidak pernah akan terjawab oleh filsafat. Namun, filsafat adalah dimana pertanyaan-pertanyaan ini dikumpulkan, diterangkan dan diteruskan. Filsafat adalah suatu ilmu tanpa batas, karena tidak hanya menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja, melainkan apa saja yang menarik perhatian manusia. Sehingga filsafat ini menjadi hal yang penting yang perlu dipelajari mahasiswa dalam jurusan dan keahlian apapun.[1]
Oleh karena itu, Makalah ini akan mencoba membahas beberapa hal terkait dengan filsafat baik dari pengertian, asal usul munculnya serta fungsi dan klasifikasinya.
PEMBAHASAN
Pengertian Filsafat
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".[2]
Dalam istilah Inggris, philosophy, yang berarti filsafat, juga berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan[3]. Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis
Beberapa filsuf mengajukan beberapa definitif pokok filsafat seperti: Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas. Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata, Upaya untuk menentukan batas-batas jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya. Penyelidikan kritis dan radikal atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Sesuatu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita katakan dan untuk mengatakan apa yang kita lihat.
Kalau menurut tradisi filsafati yang diambil dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), setelah dia membaca tulisan Herakleides Pontikos (penganut ajaran Aristoteles) yang memakai kata sophia. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.[4]
Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan masuknya ilmu pengetahuan serta semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang diberikan oleh pemikiran keagamaan, peran yang sebelumnya mengikat segala aspek pemikiran kemudian secara perlahan-lahan digantikan oleh logos (rasio/ ilmu).
Pada saat inilah, para filosof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam semesta secara logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam semesta. Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Filsafat, terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berfikir-fikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada saat itu yang dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.[5]
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales[6] dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
Kegunaan Filsafat
Adapun tujuan umum mempelajari  filsafat antara lain sebagai berikut :
a. Dengan berfilsafat kita lebih menjadi manusia, lebih mendidik dan membangun diri sendiri.
Sifat yang khusus bagi seorang filsuf ialah bahwa sesadar-sadarnya apa saja yang termasuk dalam kehidupan manusia, tetapi dalam pada itu juga mengatasi dunia itu, sanggup melepaskan diri, menjauhkan diri sebentar dari keramaian hidup dan kepentingan-kepentingan subyektif untuk menjadikan hidupnya sendiri itu obyek peyelidikannya. Dan juatru kepentingan-kepentingan dan keinginan-keinginan subyektip itu maka ia mencapai keobyektifan dan kebebasan hati, yang perlu buat pengetahuan dan penilaian yang obyektif dan benar tentang manusia dan dunia. Dan sifat ini, sifat mengatasi kesubyektifan belaka, sifat melepasakan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebuttuhan sendiri, tegasnya bahwa sifat keobyektifan ini adalah seorang yang dewasa yang belum matang kerohaniannya.
Telah dikatakan bahwa hidup di dunia ini adalah di dalam dunia dan mengatasi dunia itu adalah jasmani dan rohani atau dengan perkataan asing, adalah immanent (berada di dalamnya) dan transcedent (mengatasi dunia material yaitu sebagai rohani). Manusia adalah rohani-jasmani dalam satu kesatuan tetapi jiwalah yang merupakan dasar intinya, sumber segala kegiatan dan perinsip hidup. Maka kurang berpikir berarti lebih tenggelam ke dalam jasmanilah dalam kebendaan. Berpikir dengan lebih dalam berarti mengalami diri kita sendiri sebagai transcedent, sebagai mengatasi dunia material sebagai rohani.
b. Berusaha mempertahankan sikap yang obyektif mengenai intisari dan sifat-sifat barang-barang itu sendiri.
Bila seseorang semakin pantas di sebut “berkpribadian”, semakin mendekati kesempurnaan kemanusiaan, semakin memiliki “kebijaksanaan”, jika semakin mempunyai sikap obyektif terhadap dunia ini . Dan sebaliknya seseorang yang sungguh-sungguh dewasa tidak pertama-tama mencari kepuasan dan kesenangannya diri sendiri dalam benda-benda.
c. mengajar dan melatih kita memandang dengan luas dan menyembuhkan kita dari sifat Akuisme dan Aku sentrimisme.
Ini berhubungan erat pula dengan “Spesialisasi” dalam ilmu pengetahuan yang membatasi lapangan penyelidikan orang sampai satu aspek tertentu dari pada keseluruhan itu. Hal inilah dala ilmu pengetahuan memang perlu akan tetapi sering membawa kita kepada kepicikan dalam pandangan, sehingga melupakan apa saja yang tidak termasuk lapangan penyelidikan itu sendiri, sifat ini sangat merugikan perkembangan manusia sebagai keutuhan maka obatnya yang paling manjur ialah “pelajaran filsafat”
Bidang-Bdang Filsafat
Will Durrant, dalam bukunya The Story of Philosophy yang diterbitkan sejak tahun 1926, mengemukakan bahwa ada lima bdang studi filsafat, yaitu sebagai berikut:[7]
1.      Logika. Logika adalah studi tentang metode berpikir dan metode penelitian ideal, yang terdiri dari observasi, introspeksi, dedukasi dan induksi, hipotesis dan eksperimen, analisis dan sintesis dan sebagainya.
2.      Estetika. Estetika adalah studi tentang bentuk ideal dan keindahan. Estetika disebut juga sebgai filsafat seni.
3.      Etika. Etika adalah studi tentang perilaku ideal.
4.      Politika. Politika adalah studi tentang organisasi sosial yang ideal, yaitu tentang monarki, aristokrasi, demokrasi, sosialisme, anarkisme dan sebagainya.
5.      Metafisika. Metafisika terdiri dari ontologi, filsafat psikologi, dan epistemologi. [8]
KLASIFIKASI FILSAFAT
Sejarah Perkembangan Awal Filsafat Dunia
Meski istilah philosophia (Φιλοσοφία) pertama kali dimunculkan oleh Pythagoras, namun orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales (640-546 S.M.) dari Mileta (sekarang di pesisir barat Turki). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya.
Dalam buku History and Philosophy of Science karangan L.W.H. Hull (1950), menulis setidaknya sejarah filsafat dan ilmu dapat dibagi dalam beberapa periode, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada periode itu.
Periode pertama, filsafat Yunani abad 6 SM
Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales, Anaximandros, dan Anaximenes yang dianggap sebagai bapak-bapak fisafat dari Miletos[9]. Thales berpendapat bahwa sumber kehidupan adalah air. Makhluk yang pertama kali hidup adalah ikan dan menusia yang pertama kali terlahir dari perut ikan. Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Setelah mereka bertiga, Yunani kemudian memiliki pemikir-pemikir terkenal yang lebih berpengaruh lagi terhadap perkembangan fisafat, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Phythagoras, Hypocrates, dan lain sebagainya.
Periode Kedua, Periode setelah kelahiran Al Masih (Abad 0-6 M)
Pada masa ini pertentangan antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan para raja yang pro kepada gereja, dengan para ulama filsafat. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati suri. Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
Periode Ketiga, Periode kejayaan Islam (Abad 6-13 M)
Pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami abad kegelapan, ada juga yang menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan atau kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku inilah diterbitkan dan ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hukum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi ahli filsafat[10], Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu Khaldun ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet. Tetapi setelah perang salib terjadi umat Islam mengalami kemundurran, umat Islam dalam keadaan porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, dan Ibnu Rushd.
Sedangkan Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis.[11] Untuk mencapai kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin  menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Periode Keempat, Periode kebangkitan Eropa (Abad 12-17)
Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropa mengalami kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropa. Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke Italia. Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan buku teks Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid dari Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Jazirah Arab.
Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328.
Periode Filsafat Modern[12] (Abad 17-20 M)
Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen yang berkuasa dan menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga awal abad kemunduran bagi umat Islam. Berbagai pemikiran Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka anut adalah rasionalitas, empirisrme, dan Kritisme. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia islam. Masa ini juga memunculkan intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin buku Ibnu Sina, ”The canon of medicine”, Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada waktu itu. Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa. Masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen Katolik dan Protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung Revolusi ilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, serta hak berfikir. Hal serupa juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya yang berjudul Social Contak.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir ( menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Adapun Kritisisme oleh Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (”das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia.
Begitulah pergulatan antar aliran filsafat Modern. Rasionalis diwakili Descartes, Empiris diwakili Hume, dan Kritisme oleh Kant saling menkritik satu sama lain. [13]

PENUTUP
Dari pemaparan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
-          Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”.
-          Sebab munculnya filsafat adalah karena hilangnya kepercayaan terhadap keyakinan agama, sehingga para filosof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah.
-          Bidang-bidang filsafat antara lain sebagai berikut: Metafisika, Logika, Epistemologi, Filsafat Ilmu, Filsafa Naturalis, Filsafat Kultural, Filsafat Sejarah, Estetika, Filsafat Manusia. Dan juga perkembangan filsafat dibagi dalam beberapa periode.





DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, cetakan II (Bandung: Mizan, 2006).
Bertens, Prof K, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999).
Bertens, Prof K, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1998).
Durrant, Will, The Story of Philosophy, (New York: Pocket Book, Inc, 1953)
Hamersma, Harry, Dr.   Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2008).
Hardiman, F. Budi Filsafat Modern, dari Machavelli sampai Nietzsche, cetakan II, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007).
Osborne, Richard, Filsafat untuk Pemula, (Yogyakarta: Kanisius, 2001).
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, (Kanisius: Yogyakarta, 1996)


[1] Di universitas-universitas, fakultas filsafat sering disebut fakutlas sentral atau inter-fakultas, karena semua fakultas lain yang selalu menyelidiki salah satu segi dari kenyataan menjumpai petanyaan-pertanyaan yang membutuhkan refleksi yang tidak lagi termasuk bidang khusus mereka. Lihat lebih jelas dalam Dr. Harry Hamersma,  Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 10
[2] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Kanisius: Yogyakarta, 1996), hal. 14
[3] Bisa pula berarti “cinta akan hikmat” atau “cinta akan pengetahuan”. Karena seorang filsuf adalah seorang pencinta, pencari hikmat atau pengetahuan.  Dr. Harry Hamersma, Ibid, hal. 11
[4] Lihat lebih lengkap dalam, Ibid, hal 11.
[5] Orang-orang Yunani berkembang, melalui seni-sei drama, ide tentang tata keniscayaan daripada kebetulan buta. Mereka membangun struktur demokrasi. Mereka telah mewarisi semangat petualang dengan berperang dilaut dari budaya Minoan sebelumnya. Mereka banyak melakukan perjalanan.
[6] Thales adalah orang pertama yang disebut “bijaksana”. Ia adalah seorang politikus ahli geometri dan pemikir di pelabuhan Miletus yang sangat ramai. Ia berjasa dengan meramalkan secara tepat gerhana matahari pada tahun 585 SM. Ia adalah pemikir praktis, lihat dalam Richard Osborne, Filsafat untuk Pemula, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 5
[7] Will Durrant, The Story of Philosophy, (New York: Pocket Book, Inc, 1953), hal xxvii-xxviii. Yang dikutip dalam Jan Hendrik Rapar, Op.Cit, hal. 35
[8] Para penulis ENSIE (Eerste Nederlandse Systematich Ingerichte Encyclopeaedie) membagi filsafat kedalam sepuluh cabang sebagai berikut: Metafisika, Logika, Epistemologi, Filsafat Ilmu, Filsafa Naturalis, Filsafat Kultural, Filsafat Sejarah, Estetika, Filsafat Manusia.
[9] Tidak kebetulan bahwa pada awal abad ke-6 SM Miletoslah yang menjadi tempat lahir untuk filsafat dan bukan kota lain, karena pada waktu itu Miletos adalah kota terpenting dari kedua belas kota Ionia. Kota yang letaknya dibagian selatan pesisir Asia Kecil ini mempunyai pelabuha yang memungkinkan dengan banyak budaaya lain. Dengan demikian, Miletos menjadi titik pertemuan untuk banyak kebudayaan dan segala macam infotmasi dapat ditukar antara orang-orang yang berasal dari pelbagai tempat. Lihat dalam Prof. Dr. K Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 33
[10] Meski pada umumnya Filsafat islam dipercayai sebagai berawal dari Al-Kindi, tetapi ada catatan bahwa orang Islam pertama yaang disebut sebgai filsof adalah Iransyahri. Pemilihan Al-Kindi sebagai filosof pertama dalam sejarah Islam tentu terkait dengan kenyataan bahwa Al-Kindi lah orang pertama yang berusaha merumuskan secara sistematis apa itu filsafat Islam. Lihat dalan Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, cetakan II (Bandung: Mizan, 2006), hal 101
[11] Jika disimpulkan, Al-Ghozali berpandangan bahwa filsafat Islam tertuju pada kesan bahwa ia tak terlalu peduli-bahkan siap bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Lihat dalam Haidar Bagir, Ibid, hal. 223
[12] Istilah modern berasal dari kata Latin ‘moderna’ yang artinya sekarang, baru atau saat kini. Atas dasar pengertian asli ini kita bisa mengatakan bahwa manusia senantiasa hidup di zaman modern, sejauh kekinian menjadi kesadarannya. Sebagai bentuk kesadaran, modernitas dicirikan oleh tiga hal, yaitu: seubjektivitas, kritik, dan kemajuan. Lihat lebih lengkap dalam F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari Machavelli sampai Nietzsche, cetakan II, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 2-3
[13] Lain halnya dengan Frederich Nietzshe yang tidak pernah menguraikan filsafatnya secara sistematis. Karena satu-satunya karya yang direncanakan Nietsche untuk membentangkan filsafatnya dalam bentuk yang sistematis tidak pernah diselesaikan. Lihat lebih lengkap dalam Prof K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal.  85

0 komentar:

Post a Comment